Kiprah Keulamaan dan Pemikiran Tuan Guru H. Muhammad
Sjarwani Abdan al-Banjari (Guru Bangil)
Oleh : Masdari, M. Rif’at, dan Zulfa Jamalie
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk memetakan dan mendeskripsikan
kiprah keulamaan dan pemikiran keagamaan Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan
(Guru Bangil) sebagai bagian penting dari eksplorasi terhadap khazanah
intelektual ulama Banjar, dan dilengkapi pula dengan kajian terhadap riwayat
hidup beliau. Karena, bagi masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) dan
masyarakat Bangil (Jawa Timur) khususnya, nama Guru Bangil tidaklah asing lagi.
Guru Bangil adalah seorang ulama yang alim dan tawadhu’.
Keluasan dan ketinggian ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar
dan menuntut ilmu dengan beliau, termasuk pula para kyai. Ketika hidup, beliau
menjadi referensi bagi para guru agama dan masyarakat dalam memecahkan berbagai
permasalahan keagamaan. Keilmuan dan kiprah keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih
besar terhadap pembangunan mental spiritual umat, tidak hanya di kota kelahiran
beliau Martapura, akan tetapi juga di Kota Bangil tempat Beliau menetap dan
meninggal dunia. Secara geneologis, Guru Bangil merupakan generasi ke-8 dari
ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan salah seorang guru
dari ‘Alimul Fadhil Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru
Sekumpul).
Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan
Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis
Guru Bangil yang paling populer, dicetak, dipublikasikan, dan banyak dijadikan
rujukan oleh masyarakat Banjar, terutama di Martapura dan Bangil.
LATAR BELAKANG
Umumnya, dalam komunitas Islam diberbagai daerah kehadiran
ulama dalam memberi warna kehidupan masyarakat memang sangat signifikan. Ulama
memiliki kedudukan sangat penting di tengah-tengah masyarakatnya, sehingga
kata-katanya dipatuhi dan perilakunya diikuti. Dalil utama yang sering menjadi
sandaran atas peran penting ulama, sehingga mereka menjadi tokoh kunci (key
people) dalam masyarakatnya tersimpul dalam hadits Nabi Saw: “Ulama adalah
pewaris para Nabi”.
Menurut bahasa, ulama merupakan bentul plural dari kata
alim, yang berarti orang yang mempunyai sifat tahu, mengerti, terpelajar,
berilmu atau ilmuwan. Dalam Alquran seperti tercantum dalam surah Asy Syuraa
197 dan Al Fathir 28 dijelaskan bahwa makna ulama yang terkandung dalam ayat
tersebut tidak selalu merujuk kepada pengertian khusus yang berarti sebagai
orang-orang yang berpengetahuan agama saja, namun ia bersifat umum. Karena itu
jika kita telusuri ulama hanyalah salah satu kelompok atau sinonim dari apa
yang disebut dengan istilah ulil albab, yakni orang-orang yang berakal,
mempunyai pikiran, cendikiawan. Ulama dianggap sebagai orang yang memiliki
pengetahuan dan pemahaman luas akan agama serta memiliki kebijaksanaan (men of
understanding and men of wisdom).
Dalam Alquran, kata-kata ulil albab disebut enam belas kali,
antara lain mereka yang termasuk dalam kelompok ulil albab disebut sebagai
“orang yang diberi hikmah” (Al-Baqarah 269), “orang yang sanggup mengambil
pelajaran” (Yusuf 111), “mereka yang kritis mendengarkan pemikiran orang lain”
(Az-Zumar 18), “orang yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu” (Ali Imran
109), “orang yang mengambil pelajaran dari kitab yang diwahyukan oleh Allah”
(As-Shaad 29, Al-Mu’min 54 dan Ali Imran 7), dan “orang-orang yang merasa takut
kepada Tuhannya”.
Karena itulah, Ali Syariati (seorang sosiolog Muslim Iran)
menjuluki kelompok ulil albab tersebut sebagai pemikir yang mencerahkan. Ulama
diibaratkan tongkat pemandu jalan di siang hari dan obor penerang di malam
Karena itu, kehadirannya tidak hanya concern dengan peran keulamaannya semata,
tetapi mestinya juga terpanggil untuk melaksanakan kebenaran guna memperbaiki
kehidupan masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskan bahasa yang
dapat dipahami mereka, serta siap menawarkan strategi dan alternatif solusi cerdas
terhadap berbagai problem yang dihadapi oleh masyarakat. Inilah tugas utama
ulama kata Syariati. Untuk itu, mestinya ia tidak hanya pandai dalam ilmu-ilmu
agama, akan tetapi ia juga harus tahu ilmu-ilmu pengetahuan lain guna menunjang
tugas yang diembannya selaku waratsatul anbiyaa.[1]
Imam Ali bin Abi Thalib ra menegaskan bagaimana strategisnya
kedudukan ulama di tengah-tengah masyarakat. Menurut Imam Ali: “Ulama adalah
lampu Allah di bumi, maka barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, dia
akan memperoleh cahaya (ilmu) itu darinya. Kedudukan ulama bagaikan pohon
kurma, engkau menunggu kapan buahnya jatuh kepadamu. Jika seorang ulama
meninggal, maka terjadi lubang dalam Islam yang tidak tertutupi sehingga datang
ulama lain yang akan menggantikannya. Kesalahan yang dilakukan ulama seperti
pecahnya sebuah kapal, yang tidak hanya menenggelamkan dirinya, akan tetapi
juga orang-orang yang ikut bersamanya”.[2]
Dari kota Martapura, salah seorang ulama yang terkenal
namanya bagi masyarakat Banjar (Martapura) dan masyarakat Bangil (Pasuruan)
khususnya, adalah Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan. Karenanya, bagi
masyarakat Banjar dan masyarakat Bangil, nama Guru Bangil, pendiri Pondok
Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil Kabupaten Pasuruan Jawa Timur tidaklah
asing lagi. Keilmuan dan kiprah keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih
besar terhadap pembangunan mental spiritual umat, tidak hanya di daerah
kelahiran beliau Kota Martapura dan sekitarnya, akan tetapi juga di Kota Bangil
(Pasuruan).
Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan yang akrab dipanggil
Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang alim dan tawadhu’. Keluasan dan
ketinggian ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar dan menuntut
ilmu dengan beliau, termasuk pula para kyai yang ada di Kota Pasuruan, Bangil
dan sekitarnya. Ketika hidup, beliau menjadi referensi bagi para guru agama dan
masyarakat dalam memecahkan berbagai permasalahan keagamaan. Guru Bangil juga
dikenal sebagai salah seorang keturunan ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari yang aktif berdakwah dan berjuang tanpa pamrih.
Kiprah Guru Bangil untuk membangun spiritual dan kecerdasan
beragama masyarakat merupakan sumbangsih besar yang menarik untuk dikaji.
Karena, aktivitas keulamaan dan pemikiran keagamaan Guru Bangil telah memberi
warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat Islam dan menjadi aset penting bagi
masyarakat Banjar dan Bangil khususnya.
PROFIL DAN SEJARAH HIDUP GURU BANGIL
A. Kelahiran
Guru Bangil yang bernama lengkap H. Muhammad Sjarwani Abdan
bin H. Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf bin H. Muhammad Shalih Siam bin H.
Ahmad bin H. Muhammad Thahir bin H. Syamsuddin bin Sa’idah binti Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari dilahirkan di Kampung Melayu Ilir Martapura. Tidak diketahui
secara pasti kapan tanggal kelahiran beliau, dari beberapa catatan yang ada
hanya dituliskan tahun kelahiran beliau, yakni pada tahun 1915 M/1334 H.
Menurut silsilahnya, Guru Bangil merupakan zuriat ke-8 dari
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, dari istri Al-Banjari yang kedua, yang
bernama Tuan Bidur. Moyang Guru Bangil yang bernama Sa’idah adalah anak dari
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Tuan Bidur. Sa’idah memiliki saudara tiga
orang, yakni ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Su’ud,[3] ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H.
Abu Na’im, dan ‘Alimul ‘Allamah Khalifah H. Syahabuddin.
Guru Bangil terlahir dari keluarga yang agamis dan dikenal
luas oleh masyarakat Martapura sebagai ‘keluarga alim’. Ayahnya bernama H.
Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf, sedangkan ibunya bernama Hj. Mulik. Guru
Bangil mempunyai 7 orang saudara kandung, nama-nama saudara Guru Bangil
tersebut adalah: H. Ali, Hj. Intan, Hj. Muntiara, Abd. Razak, Husaini, Acil,
dan H. Ahmad Ayub
Selain mempunyai saudara sekandung yang berjumlah 7 orang,
Guru Bangil juga mempunyai saudara seayah, di antaranya adalah Abd. Manan dan
H.M. Hasan.
B. Pendidikan
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama
yang dirasakan oleh Guru Bangil. Berdasarkan catatan H. Abu Daudi dalam
bukunya, “Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar”, sejak
kecil Guru Bangil sudah dikenal sebagai seorang yang memiliki himmah kuat untuk
belajar dan menuntut ilmu, terutama ilmu agama.[4] Beliau dikenal sebagai anak
yang rajin dan tekun dalam belajar, sehingga disayangi dan disenangi oleh
guru-guru beliau. Terlebih-lebih beliau berasal dari dan dibesarkan di lingkungan
keluarga yang agamis dan “Serambi Mekkah”, Martapura.[5] Karena itu, di samping
dididik dalam lingkungan dan oleh keluarga, Guru Bangil juga mendapat didikan
dan mulai menyauk ilmu agama di Pesantren Darussalam Martapura[6] dan dari
sejumlah ulama besar yang hidup pada waktu itu, antara lain kepada ‘Alimul
‘Allamah Tuan Guru H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, ‘Alimul Fadhil Qadhi H.M.
Thaha, dan ‘Alimul Fadhil H. Isma’il Khatib Dalam Pagar, Martapura.
Beliau juga pernah belajar ilmu agama dengan Guru Mukhtar
Khatib, di mana menurut cerita yang berkembang, beliau belajar sambil mengayuh
jukung (perahu).[7]
Setelah cukup banyak belajar ilmu agama di Martapura, Guru
Bangil pada usia yang masih muda meninggalkan daerah asalnya Martapura menuju
pulau Jawa dan bermukim di kota Bangil, dengan satu tujuan memperdalam ilmu
agama Islam. Selama beberapa tahun di kota Bangil, beliau sempat belajar dan
berguru pada ulama-ulama terkenal di kota Bangil dan Pasuruan antara lain K.H.
Muhdor, K.H. Abu Hasan, K.H. Bajuri dan K.H. Ahmad Jufri.
Pada sekitar usia 16 tahun Guru Bangil kemudian melanjutkan
belajar ilmu agama ke Tanah Suci Mekkah. Beliau berangkat bersama-sama dengan
saudara sepupu beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Anang Sya’rani Arif[8] di bawah
pengawasan paman beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, yang
pada saat itu juga sedang bermukim di Mekkah. Selama di Mekkah, Guru Bangil
menuntut berbagai cabang ilmu agama dengan beberapa orang guru, di antaranya
adalah kepada ‘Alimul ‘Allamah Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Syekh Umar
Hamdan, dan ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari.[9] Di
samping itu, Guru Bangil juga belajar dan mengkaji ilmu kepada Syekh Sayyid
Alwi al-Maliki, Syekh Muhammad Arabi, Syekh Hasan Massyath, Syekh Abdullah
Bukhori, Syekh Saifullah Andagistani, Syekh Syafi’i Kedah, Syekh Sulaiman
Ambon, dan Syekh Ahyat Bogori.[10] Abu Nazla menambahkan bahwa selama di
Mekkah, Guru Bangil dan Guru Anang Sya’rani Arif juga belajar kepada Syekh
Bakri Syatha dan Syekh Muhammad Ali bin Husien al-Maliki.[11]
Selama mukim di Mekkah berbagai cabang ilmu agama telah
dikaji dan dipelajari oleh Guru Bangil. Banyak pula silsilah sanad, ilmu dan
amal yang beliau terima. Salah satu cabang ilmu yang menonjol yang dikuasai
oleh Guru Bangil adalah ilmu tasawuf. Di bidang ilmu tasawuf ini, Guru Bangil
telah menerima ijazah tarekat Naqsabandiyah dari ‘Alimul ‘Allamah Syekh Umar
Hamdan dan ijazah tarekat Sammaniyah dari ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin
Abdullah al-Banjari.[12] Ijazah tarekat Idrisiyah diterima dari ‘Alimul
‘Allamah Syafi”i bin Shalih al-Qadiri.[13]
Guru Bangil dikenal sebagai murid utama dan khalifah dari
guru besar bidang tasawuf, Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi untuk Tanah Jawa
(Indonesia). Dari Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi inilah Guru Bangil banyak
belajar dan mengkaji ilmu, khususnya tasawuf.[14] Tidak mengherankan jika
kemudian Guru Bangil menjadi seorang ulama yang wara, tawadhu’, dan khumul,
hapal Alquran serta menghimpun antara syariat, tarekat, dan hakikat.[15]
Guru Bangil juga merupakan salah seorang guru tasawuf dari
‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru
Sekumpul.[16] Guru Bangil Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif dikenal oleh gurunya
sebagai murid yang tekun dan menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu agama.
Guru-guru mereka sangat sayang karena melihat bakat dan kecerdasan mereka
berdua”. demikian yang tergambar dalam Manaqib Guru Bangil berkenaan dengan
semangat dan ketekunan dua saudara sepupu tersebut dalam dan selama menuntut
ilmu.[17] Bahkan, keadaan dan ketekunan mereka berdua selama menuntut ilmu di
Mekkah juga diibaratkan, “Siang bercermin kitab dan malam bertongkat
pensil”.[18] Sehingga wajar jika kemudian dalam beberapa tahun saja mereka
berdua mulai dikenal di Kota Mekkah dan mendapat julukan “Dua Mutiara dari
Banjar”. Bahkan mereka berdua mendapat kepercayaan untuk mengajar selama
beberapa tahun di Masjidil Haram (Mekkah) atas bimbingan Syekh Sayid Muhammad
Amin kutbi.[19]
Guru Bangil di mata guru-gurunya memang dikenal sebagai
seorang murid yang cerdas, namun beliau sendiri tidak mau menampakkan
kecerdasan tersebut, beliau selalu sederhana dan bahkan merendahkan hati,
sehingga banyak orang yang tidak tahu tentang beliau. Cerita tentang kedatangan
beliau di Bangil dan tidak mau membuka pengajian karena penghormatan terhadap
ulama yang ada di sana merupakan bukti kuat bahwa beliau adalah seorang yang
tidak suka menyombongkan diri, sebaliknya bersikap hormat dan selalu rendah
hati. Bahkan untuk menutupi ketinggian ilmunya setelah bertahun-tahun menuntut
ilmu di Mekkah, selama tinggal di Bangil beliau menutupi diri dengan menjadi
pedagang. Beliau juga tidak merasa kecil hati untuk belajar dan menuntut ilmu
kepada para ulama yang ada di Kota Bangil dan Pasuruan.
Menurut cerita salah seorang dari muridnya, dalam salah satu
tausiyahnya (agar tidak sombong) Guru Bangil juga pernah berkata dan menyatakan
bahwa beliau bukanlah orang cerdas sebagaimana yang disangkakan orang, beliau
hanya rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh dalam belajar, menjaga etika
belajar, hormat dengan guru dan tawakkal kepada Allah.[20]
Guru Bangil adalah seorang yang pandai menyembunyikan diri
(tidak suka pamer, sombong, atau takabbur), walaupun memiliki ilmu agama yang
luas.[21] Selama menuntut ilmu di Mekkah mendapat julukan “mutiara dari
Banjar”, pernah mengajar di Masjidil Haram, namun beliau tetap rendah hati dan
sederhana, sehingga di awal-awal berdiamnya beliau di Kota Bangil, banyak orang
yang tidak mengetahui siapa beliau sebenarnya, kecuali sesudah diberitahu oleh
Kyai Hamid yang merupakan Kyai Sepuh di Kota Pasuruan.
C. Keluarga
Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai
ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu
Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk
masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di
Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul
keluarganya yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Di Kota Bangil inilah, Guru Bangil dikawinkan dengan Hj.
Bintang binti H. Abd. Aziz ketika berusia lebih dari 30 tahun. Hj. Bintang
masih terhitung dan memiliki hubungan keluarga dengan beliau, karena Hj.
Bintang adalah anak paman beliau, yang berarti saudara sepupu. Dari
perkawinannya dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ini, Guru Bangil
mendapatkan beberapa orang anak, di antaranya: K.H. Kasyful Anwar, Zarkoni,
Abd. Basit, Malihah, dan Khalwani.
Setelah isteri beliau yang pertama (Hj. Bintang) meninggal
dunia, beliau kemudian kawin lagi dengan Hj. Gusti Maimunah dan dari
perkawinannya dengan Hj. Gusti Maimunah ini beliau mendapatlan beberapa orang
anak lagi, di antaranya adalah Hj. Imil, Noval, Didi, Yuyun, dan Mahdi
Isteri beliau yang ketiga adalah Hj. Fauziah. Dari
perkawinan dengan Hj. Fauziah ini, beliau mendapatkan beberapa orang anak pula,
di antaranya adalah M. Rusydi, Abd. Haris, dan Busra.[22] Menurut keterangan
Ustadz H. Mulkani jumlah anak beliau keseluruhan adalah 28 orang.[23]
H. Kasyful Anwar, anak Guru Bangil yang tertua adalah
generasi penerus dalam melaksanakan aktivitas pendidikan dan dakwah serta
pengelolaan Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil hingga sekarang
ini. Di samping itu beliau juga tercatat sebagai seorang dosen tetap pada
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
D. Wafat
“Sesungguhnya dicabut ilmu itu oleh Allah Swt dengan
kewafatan ulama”. Setelah sekian banyak mencetak kader ulama dan berkhidmat
dalam dakwah, meningkatkan ilmu dan amal bagi murid-murid dan masyarakat luas,
akhirnya pada malam Selasa jam 20.00 tanggal 11 September 1989 M bertepatan
dengan 12 Shafar 1410 H, Guru Bangil wafat dalam usia lebih kurang 74 tahun.
Beliau kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga dari para habaib bermarga
(vam) al-Haddad, berdekatan dengan makam Habib Muhammad bin Ja’far al-Haddad,
di Dawur, Kota Bangil yang berjarak tidak jauh dari rumah dan pondok pesantren
yang beliau bangun. Makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat Muslim dari
berbagai penjuru daerah, tak terkecuali dari Kalimantan Selatan.
Guru Bangil banyak meninggalkan contoh yang patut untuk
diteladani, beliau meninggalkan kebaikan yang layak untuk dikenang, dan beliau
meninggalkan warisan publik yang patut untuk diikuti. Kehadiran beliau di
tengah masyarakat Banjar dan Bangil terasa sangat luar biasa. Untuk
memperingati dan mengingat jasa-jasa beliau, serta untuk mengikuti jejak dan
perjuangan beliau dalam mendakwahkan Islam, saban tahun, yakni setiap tanggal
12 Shafar diadakan haul[24] Guru Bangil, yang selalu dihadiri oleh ribuan
jamaah dari berbagai, terutama jamaah dari Kalimantan serta murid-murid beliau.
KIPRAH DAN PEMIKIRAN
Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai
ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu
Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk
masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di
Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul
keluarga yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Sebelum beliau bepergian ke Bangil (dalam tahun 1945/1946),
beliau sempat mengajar di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar Martapura,[25]
namun pengabdian Guru Bangil di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar ini tidak
lama, karena pada tahun 1946 beliau kemudian pindah dan hijrah ke Bangil,
menyusul keluarga yang telah lama berdiam di sana.
Setelah beberapa tahun berdiam di kota Bangil, Guru Bangil
mulai mengajar dan mengabdikan ilmunya secara luas kepada masyarakat setelah
mendapatkan restu dari Kyai Hamid Pasuruan yang merupakan ulama Sepuh pada
waktu itu.[26] Di samping muthala’ah dan membuka pengajian, Guru Bangil juga
mendirikan pondok pesantren untuk ‘kaji duduk’ ilmu-ilmu agama yang diberi nama
Pondok Pesantren “Datuk Kalampayan” pada tahun 1970. Santri-santrinya
kebanyakan berasal dari Kalimantan, terutama dari Kalimantan Selatan.[27]
Pondok Pesantren tersebut langsung ditangani sendiri oleh
Guru Bangil. Beliau juga aktif dan tanpa kenal lelah mengajarkan ilmu kepada
para santri, sekalipun dalam keadaan sakit. Malam hari pun diisi dengan
berbagai kegiatan amaliyah, halaqah, dan muthala’ah. Sehingga, banyak para
santri beliau yang kemudian menjadi orang alim dan tersebar diberbagai daerah,
baik di Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan lain-lain untuk meneruskan perjuangan
Islam. Di antara santri/murid-murid beliau tersebut adalah:
1. ’Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul
Ghani Sekumpul Martapura, Pendiri Majelis Taklim Ar-Raudhah Sekumpul.
2. K.H. Prof. Dr. Ahmad Sjarwani Zuhri, Pimpinan dan
Pengasuh Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Balikpapan.
3. K.H. Muhammad Syukri Unus, Pimpinan Majelis Taklim
Sabilal Anwar al-Mubarak, Martapura.
4. K.H. Zaini Tarsyid, Pengasuh Majelis Taklim Salafus
Shaleh Tunggul Irang Seberang, Martapura (selain sebagai murid, K.H. Zaini
Tarsyid juga merupakan anak menantu Guru Bangil).
5. K.H. Ibrahim bin K.H. Muhammad Aini (Guru Ayan), Rantau.
6. K.H. Ahmad Bakri (Guru Bakri), Pengasuh Pondok Pesantren
Al-Mursyidul Amin, Gambut.
7. K.H. Asmuni (Guru Danau), Pengasuh Pondok Pesantren Darul
Aman, Danau Panggang, Amuntai.
8. K.H. Sayfi’i Luqman, Tulungagung (Jawa Timur).
9. K.H. Abrar Dahlan, Pimpinan Pondok Pesantren di Sampit,
Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
10. K.H. Muhammad Safwan Zahri, Pimpinan Pondok Pesantren
Sabilut Taqwa, Handil 6, Muara Jawa, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Waktu beliau banyak dihabiskan untuk mengajar, muthala’ah,
dan ibadah. Sewaktu berdiam di Martapura, sekembali dari Kota Mekkah
al-Mukarramah, Guru Bangil pernah ditawari untuk menduduki jabatan Qadhi di
Martapura, namun jabatan tersebut beliau tolak. Beliau lebih senang berkhidmat
secara mandiri dalam dunia pendidikan, dakwah, dan syiar Islam, di mana,
muthala’ah, halaqah dakwah, ta’lim (mengajar), dan menulis (menghimpun) risalah
menjadi aktivitas rutin beliau sehari-hari.
Dalam mengajar Guru Bangil biasanya tidak panjang lebar
menjabarkan dan menjelaskan suatu permasalahan, beliau hanya menyampaikan apa
yang ada dalam kitab dan telah dibahas secara panjang lebar oleh ulama penulis
kitab. Sehingga, ketika ada yang bertanya atau mengajukan suatu permasalahan,
beliau menjawabnya tidak dengan pendapatnya sendiri, tetapi beliau tunjukkan
dan mengutip dari pendapat para ulama dengan menyebutkan kitab-kitabnya.
Guru Bangil juga aktif menulis berbagai risalah agama berupa
pelajaran dan pedoman praktis dalam memantapkan keyakinan dan amaliah beragama
masyarakat. Satu di antara risalah beliau yang sangat terkenal, dicetak, dan
beredar secara luas di tengah-tengah masyarakat adalah buku yang berjudul
Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah. Risalah ini berisi pembahasan
tentang masalah talqin, tahlil, dan tawassul.
Guru Bangil tidak mau karya tulis beliau diperjual-belikan,
itulah sebabnya beberapa risalah yang beliau himpun hanya ditulis dan beredar
secara terbatas, karena tidak dicetak. Buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli
al-Istiqamah yang tersebar secara luas itupun beliau izinkan untuk dicetak atas
amal jariyah seorang donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada
masyarakat.
Menurut santri-santrinya, Guru Bangil adalah sosok seorang
guru yang bisa memahami dengan baik kemampuan, karakter dan bakat
santri-santrinya. Sehingga mereka merasa dididik sesuai dengan kemampuan mereka
masing-masing.
Di samping menguasai ilmu pengetahuan agama yang dalam, Guru
Bangil juga mempunyai keahlian ilmu bela diri (silat). Keahlian dalam ilmu bela
diri ini juga Beliau ajarkan kepada santri-santrinya sebagai bekal bagi mereka
untuk berdakwah melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Salah seorang santri beliau
yang mewarisi dengan baik ilmu bela diri ini adalah (alm.) Guru Masdar
Balikpapan.[28]
Sebagai seorang ulama, beliau mampu memberikan solusi dan
sekaligus memecahkan masalah di masyarakat beliau. Hal ini terbukti ketika
masyarakat hendak memperluas bangunan masjid di Kota Bangil yang tidak
mencukupi lagi untuk menampung jamaah. Sementara, ada kendala atau permasalahan
yang membuat ulama-ulama dan tokoh masyarakat Bangil pada waktu itu bingung
mencari solusinya, karena areal tanah yang hendak dijadikan perluasan masjid
terdapat kuburan. Maka, masyarakat pun akhirnya mereka meminta pendapat dan
pemikiran Guru Bangil berkenaan dengan masalah tersebut, apakah masjid bisa
diperluas walaupun di atas tanah bekas kuburan atau bagaimana? Dengan
berpedoman kepada pendapat para ulama terdahulu Guru Bangil membolehkan.
Sehingga, berdasarkan pendapat Guru Bangil, masalah tersebut akhirnya dapat
terpecahkan, sehingga perluasan pembangunan masjid Bangil pun dapat
diteruskan.[29]
Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang
ulama yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah,
tetapi semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak
meninggalkan harta kepada anak cucu beliau. Beliau sangat hati-hati dalam
hal-hal keduniawian.[30]
Guru Bangil tidak mau ikut-ikutan atau terjun ke dunia
politik. Itulah sebabnya beliau mau masuk dan menjadi anggota partai politik
walaupun banyak yang mengajak. Guru Bangil pernah menjadi salah seorang
Muhtasyar Nahdlatul Ulama (NU) Kota Bangil, namun ketika NU telah menegaskan
arah dan tujuan organisasinya untuk khittah (kembali) ke dasar organisasi
ketika organisasi ini didirikan (pada tahun 1926) dan tidak lagi sebagai partai
politik.[31]
Menurut Ustadz Subki, Guru Bangil alim dan menguasai secara
mendalam 14 cabang ilmu (fan) dari ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu yang beliau
kuasai tersebut terutama bidang fikih, hadits, ilmu hadits, ulumul Qur’an,
tafsir, dan tasawuf.[32]
Dalam usia muda (di bawah 40 tahun) Guru Bangil banyak
menggeluti ilmu fikih, tetapi pada usia 40 tahun ke atas beliau banyak bergelut
di bidang tasawuf. Tasawuf yang banyak beliau pelajari adalah tasawuf
Al-Ghazali.[33]
Dalam bidang hadits, beliau sangat hati-hati dalam
menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan
hadits tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan suatu hadits, beliau sangat
hati-hati dan penuh adab. Beliau tidak setuju kalau pidato di lapangan terbuka
dengan membacakan atau menggunakan ayat Alquran maupun hadits, padahal tidak
tepat dengan konteksnya.[34]
Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman
Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif.
Sehingga, ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H.
Anang Sya’rani Arif, beliau menyuruh orang tersebut untuk menanyakannya
langsung kepada Guru Bangil. Guru Bangil pernah memperdalam fikih dengan Syekh
Ahyat al-Bogori.[35]
Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan
Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis
Guru Bangil yang paling populer, karena pembahasan yang ada di dalamnya. Buku
ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 dan telah dicetak serta
diterbitkan secara berulang kali oleh penerbit. Buku ini tersebar luas di
tengah-tengah masyarakat Islam diberbagai daerah dan dicetak atas biaya dari
para donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada masyarakat luas. Karena,
Guru Bangil tidak mau karya beliau ini diperjual belikan. Buku ini juga pernah
berhenti dicetak karena ada oknum yang memperjualbelikannya untuk mengambil
keuntungan pribadi.
Buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli
al-Istiqamah ini ditulis oleh Guru Bangil atas permintaan masyarakat Bangil
karena adanya pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh muda pemikir agama yang
kontradiktif dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu itu, dan sering
menganggap mudah (remeh) urusan agama, sehingga menimbulkan pertanyaan dan
perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Hal ini terlihat di dalam tulisan
beliau yang tertera di bagian penutup buku tersebut.
“Akhirnya tidak lupa penulis menasehatkan di sini agar
angkatan-angkatan muda dari kalangan umat Islam di Indonesia ini dalam rangka
menilai suatu perkara agama itu, jangan anggap mudah atau dipermudah, tapi
hendaknya di-tanyakan langsung kepada yang betul-betul mengetahui tentang
urusan agama jika sekiranya saudara tidak mengetahui. Dan selanjutnya penulis
mengharapkan jangan sampai ada atau menimbulkan hina menghina sehingga membawa
akibat yang tidak diinginkan”[36].
Menurut Guru Bangil sangat disayangkan apabila ada sementara
orang dari kalangan umat Islam sendiri di dalam rangka menilai sesuatu perkara
agama dengan mudah dan gegabah mengambil kesimpulan untuk mengharamkan atau
menghalalkan tentang sesuatu perkara tanpa ditinjau secara teliti dan
menyeluruh tentang hakikat dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Sebagai contoh
misalnya tentang pembacaan talqin dan doa untuk mayit serta tawassul. Menurut
beliau, buku ini ditulis sekadar untuk menangkis serangan yang dilancarkan
tokoh-tokoh muda pemikir agama yang secara sembrono memberikan fatwa-fatwa
seolah-olah para alim ulama kita yang terdahulu telah memberikan jalan yang
sesat kepada kita.[37] Tulisan ini sama sekali bukanlah hasil dari penafsiran
penulis sendiri tetapi hasil dari pemikiran ulama-ulama besar kita yang telah
mengambil dasar-dasar menurut rel yang sebenarnya sesuai dengan ajaran Islam.
Adapun yang dibahas dalam buku ini adalah tentang masalah
talqin, bacaan dan doa untuk mayit serta pembahasan tentang tawassul.
1. Talqin
Ada sementara pihak yang menyatakan bahwa pembacaan talqin
itu adalah bid’ah dhalalah.[38] Dalam menjawab masalah ini Guru Bangil di dalam
buku ini menjelaskan bahwa ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Tabrani dari Abu Umamah sampai kepada Nabi Muhammad Saw bahwa Abu Umamah telah
berkata:
“Apabila aku meninggal dunia, perbuatlah diriku sebagaimana
Rasulullah telah memerintahkan kepada kami, agar kami mengerjakan terhadap
orang-orang yang meninggal dunia di antara kami. Telah memerintahkan Rasulullah
kepada kami, beliau bersabda: ”Apabila meninggal dunia salah seorang dari
saudara-saudaramu, maka setelah kau ratakan dengan tanah di atas kuburnya, maka
hendaklah salah seorang di antara kamu berdiri di atas kepala kuburnya, kemudian
katakanlah: Ya fulan bin fulan hingga akhirnya”.
Menurut beliau, hadits tersebut memang dinyatakan sebagai
hadits yang dha’if (lemah) karena di antara perawinya ada yang kurang dhabit,
karena itu tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Akan tetapi karena ada yang
menguatkannya (syahid), maka ia dapat dijadikan hujjah. Adapun atsar yang
menguatkan (syahid) hadits tersebut antara lain, yaitu:
“Dari Rasyid bin Sa’din dan Dhamrah bin Habib dan hakim bin
Umir, telah berkata mereka: apabila sudah diratakan tanah atas kubur mayit, dan
berpalinglah (pulang sebagaian manusia daripadanya. Adalah mereka itu
(sahabat-sahabatnya) suka, bahwa dikatakan bagi si mayit di sisi kuburnya, ya
Fulan, katakanlah: Laa ilaaha illallah, Asyhadu alla ilaha illallah,
Rabbiyallah wa diinil Islam wa nabiyii Muhammad Saw. Kemudian dia berpaling
(pulang)”. (diriwayatkan oleh Said bin Mansur).
Ketiga orang tersebut (Rasyid bin Sa’din, Dhamrah bin Habib
dan Hakim bin Umair adalah para tabi’in). Perkataan seperti tersebut di atas
tidak ada jalan untuk diijtihadi. Jadi hukum perkataan tabi’in tersebut adalah
langsung dari Nabi Saw seperti tertera dalam kaidah.
Syahid-syahid yang lain yang menguatkan hadits tersebut
adalah yang diriwayatkan dari Amr bin Ash pada hadits yang panjang, di dalam
hadits itu terdapat perkataan:
“Maka jika kamu selesai menanam aku dan menimbun tanah
kuburku, kemudian berdiamlah kamu di samping kuburku sekadar selama waktu
disembelih onta dan dibagi-bagikan dagingnya[39], sehingga aku mendapat
kesenangan dengan kamu dan supaya aku mengetahui bagaimana menjawab utusan
Tuhanku”. (Riwayat Muslim dalam Kitab Shahih Muslim).
Ada lagi hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan jalan
yang Shahih:
“Adalah Nabi saw apabila selesai menanam mayit, maka berdiam
atasnya, lalu beliau bersabda: Mintakan ampun bagi saudaramu sekalian dan
mohonkan kepada Allah akan ketabahan hati baginya karena ia sekarang akan
ditanya”.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud,
telah pula memperkuat isi hadits mengenai talqin tersebut. Meskipun dalam
hadits ini dimaksudkan adalah doa, akan tetapi dengan isyaratnya menunjukkan
dan menyuruh agar kita mengerjakan sesuatu yang menjadikan ketabahan bagi si
mayit karena pada waktu itu kehadiran kita betul-betul diperlukan.
Di dalam kitab Ruh, Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah berkata
bahwa hadits talqin itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah
untuk dikerjakan. Bagi kita tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu
perkataan yang menjadi-kan manfaat bagi si mayit. Hal ini didukung pula oleh
Imam An-Nawawi di dalam Syarah Muhadzab.
Menurut Guru Bangil, talqin itu pada hakikatnya bukanlah
dimaksudkan memberi pelajaran pada orang-orang yang sudah mati, melainkan
sekadar memberi ketenangan atau ketabahan di dalam kubur,[40] seperti tersebut
di dalam Alquran surah al-Dzariyat ayat 55:
Artinya: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya
peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”.
Dengan mengutip pendapat beberapa ulama yang menguraikan dan
menjelaskan masalah talqin, maka menurut Guru Bangil, talqin diperbolehkan dan
bukanlah perbuatan bid’ah, karena memiliki dalil yang kuat.
Senada dengan penjelasan dan uraian Guru Bangil dalam buku
Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini, penjelasan yang panjang
lebar, dilengkapi dengan tanya-jawab, dan disertai pula dengan dalil-dalil yang
membolehkan serta menguatkan masalah talqin, bisa dibaca dalam buku 40 Masalah
Agama, karangan K.H. Siradjuddin Abbas.[41]
2. Bacaan dan Doa untuk Mayit
Masalah bacaan dan doa untuk mayit dibahas dalam tulisan
beliau ini sebenarnya berpangkal pada pertanyaan: Apakah orang yang meninggal
dunia mendapat manfaat dari amal orang yang masih hidup? Ada sementara pendapat
yang menyatakan bahwa manfaat tersebut tidak akan diperoleh lagi oleh orang
yang meninggal dunia dengan berbagai macam alasan. Dalam uraian ini Guru Bangil
menunjukkan hal-hal yang justru sebaliknya.
Pertama-tama Guru Bangil mengemukakan sebuah hadits dari Abu
Utsman: “Bacalah surah Yasin atas orang yang meninggal dunia di antara kamu”
Menurut Beliau kedudukan hadits tersebut dhaif karena di
antara perawinya ada yang kurang kuat. Tetapi ada yang menguatkan hadits
tersebut, di antaranya:
Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Syuabil Iman, dari
Ma’qil bin Yasar, bahwasanya Nabi Saw bersabda: “Barang siapa membaca Yasin
karena menuntut pahala atau ganjaran kepada Allah, niscaya diampuni dosanya
yang telah lalu. Maka bacakanlah Yasin disisi orang yang meninggal dunia
diantara kamu”.
Di dalam hadits-hadits lain juga disebutkan tentang bacaan
ayat-ayat Alquran di atas kubur, yaitu:
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda:
“Barang siapa masuk halaman kuburan dan membaca Fatihah, Qul huwallahu ahad dan
Alhakumut Takatsur, kemudian ia berkata sesungguhnya aku jadikan pahala yang
kubaca dari kalam Engkau bagi ahli kubu dari kaum mu’minin dan mu’minat, maka
niscaya mereka itu memintakan syafa’at kepada Allah baginya” (Dikeluarkan oleh
Zanjani di dalam kitab Fawaid).
Dari Aisyah ra: Telah bersabda Rasulullah Saw: “Telah datang
kepadaku Jibril, ia berkata sesungguhnya Tuhanmu memerintahkanmu datang ke
kuburan Baqi supaya kamu memintakan ampun bagi mereka. lalu berkata Aisyah ra,
“Bagaimana saya berkata untuk mereka ya Rasulallah? Rasulullah bersabda:
“Sebutlah: Assalamu ahla al-diyar. Dalam riwayat lain Assalamu alaikum ahla
al-diyar minal mu-minin wa al-Muslimat wa inna insya Allah lalahikun asalullaha
lana wa lakum al-afiyah”. (Riwayat Imam Muslim).
Dalam membahas masalah ini, Guru Bangil juga menambahkan
beberapa keterangan yang dikemukakan oleh ulama muhadditsin dan fuqaha, di
antaranya: Diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia berkata: “Apabila
engkau masuk halaman kuburan maka bacalah ayat Kursi dan 3 kali surah
al-Ikhlas. Kemudian ucapkanlah bahwa pahalanya bagi ahli kubur”. Demikian juga
dari ulama yang lain seperti, Imam Syaukani, Imam Za’farani, Imam Ramli, Syekh
Muhammad Faleh, Imam al-Suyuti dan lain-lain yang menguatkan masalah bacaan dan
doa untuk mayit ini.
Mengenai masalah sedekah untuk si mayit, baik dalam bentuk
makanan maupun amal kebaikan tidak dilarang oleh syariat Islam. Hal ini sudah
ada sejak masa sahabat. Ini dikuatkan pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Daud dari Ashim bin Kulaib yang menceritakan tentang Nabi Saw makan bersama
sahabat-sahabatnya di rumah seorang wanita yang kematian suaminya. Kemudian, di
dalam hadits-hadits lain dinyatakan bahwa sedekah untuk orang yang sudah
meninggal dunia itu sampai kepadanya. Jadi, dengan demikian menurut Guru Bangil
selamatan yang dikerjakan untuk si mayit itu dibolehkan dan sunnat hukumnya.
Bahkan di dalam fatwa-fatwa mereka, ulama membolehkan seseorang yang akan
meninggal dunia untuk berwasiat menyuruh ahlinya agar bersedekah untuknya
setelah ia meninggal dunia.[42]
3. Tawassul
Tawassul adalah minta sesuatu kepada Allah Swt disertai
dengan ucapan: dengan berkat fulan, dengan kebesaran fulan, dengan sesuatu
amal, dengan sesuatu ayat, atau dengan berkat shalawat dan lain-lain.
Guru Bangil berpendapat bahwa cara-cara yang demikian itu
tidak ada larangan dalam agama Islam, karena menurut beliau setiap Muslim tetap
berkeyakinan dan percaya bahwa semuanya itu, apa saja hanyalah merupakan sebab
belaka dan tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, sedang yang berkuasa serta yang
mengabulkan sesuatu hajat itu adalah Allah Swt, tidak ada yang lain kecuali
Dia.
Adapun dalil yang dipakai beliau sebagaimana pendapat ulama
yang membolehkan tawassul, antara lain:
Hadits yang menunjukkan tentang bertawassul dengan orang
yang hidup. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dalam kitabnya
al-Mu’jam al-Kabir wa al-Ausath, juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan
Imam al-Hakim, dan mereka mensahkan hadits ini. Dari sahabat Annas bin Malik,
ia berkata: “Ketika Fatimah binti As’ad ra (ibunda Saidina Ali) meninggal
dunia, ia pernah memelihara Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw bersabda: “Ampuni Ya
Allah, ibuku Fatimah binti As’ad, dan luaskan atasnya tempat masuknya
(kuburnya) dengan haq Nabi Engkau dan Nabi-nabi sebelum aku”.
Dalil tawassul yang terdapat sesudah Nabi wafat, tawassul
kepada Nabi dan selain dari Nabi. Di dalam kitab Fath al-Bari disebutkan sebuah
hadits:
“Telah meriwayatkan Ibnu Abdurrazak, dari hadits Ibn Abbas,
bahwasanya Sayyidina Umar minta hujan di mushalla, maka Sayyidina Umar berkata
pada Sayyidina Abbas: Bangunlah dan mintakan Hujan. Di antara do’a Sayyidina
Abbas …… telah menghadap kaum dengan aku kepada Engkau dikarenakan hubunganku
dengan nabi-Mu”.
Umar bin Khattab berkata pula: “Ya Allah bahwasanya kami
telah tawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, maka Engkau turunkan hujan, dan
sekarang kami tawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah
hujan itu.” (Hadits ini dirawikan oleh Imam Bukhari dan Baihaqi. Lihat Shahih
Bukhari, Jilid I, h.128 dan Baihaqi, Sunan al-Kubra, Jilid II, h.352).
Adapun mengenai tawassul dengan Nabi ketika beliau sudah
wafat, Guru Bangil memberikan contoh perkataan Sayyidina Abu Bakar: “Dengan
ayah dan ibuku adalah tebusan engkau hai Muhammad, hidup dan matimu adalah
baik. Hai Muhammad, sebutlah kami di sisi Tuhanmu” (diriwayatkan oleh Imam
Abiddunia di dalam kitab Addharra).
Dalil-dalil tawassul lainnya yang dikemukakan Guru Bangil
yang menujukkan bahwa tabi’in, tabi’it tabi’in, imam-imam dan para ulama
berwasilah juga, yaitu:
a. Bahwa waktu berkunjung ke Baghdad, Imam Syafi’i berziarah
dan mendatangi kubur Imam Abu Hanifah serta bertawassul kepadanya.
b. Tatkala Imam Syafi’i mendengar Ahli Maghribi yang
bertawassul dengan Imam Malik, beliau tidak melarang bahkan beliau pun
bertawassul dengan ahl al-bait.
c. Imam Ahmad bin Hanbal bertawassul dengan Imam Syafi’i.
d. Imam Al-Ghazali pun bertawassul dengan nabi-nabi dan
keluarganya, dan dengan fadhilah amal-amal, sebagaimana tersebut di dalam kitab
Qashidah Munfarijah.
e. Ulama-ulama besar lainnya pun bertawassul, sebagaimana
disebutkan di dalam banyak kitab.
Dengan dalil-dalil tersebut yang meliputi
perbuatan-perbuatan Nabi, sahabat dan ulama-ulama cukuplah kiranya bagi umat
Islam menurut Guru Bangil untuk tidak meragukan dan tidak pula mengingkari akan
bolehnya bertawassul dengan nabi-nabi, wali-wali dan para shalihin (orang-orang
shaleh).[43]
Berbagai hal yang telah dijelaskan dan diuraikan oleh Guru
Bangil berkenaan dengan tawassul dalam buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli
al-Istiqamah ini, tidak jauh berbeda dengan penjelasan yang diuraikan dalam
buku 40 Masalah Agama, karangan K.H. Siradjuddin Abbas.[44] Di mana dalam buku
40 Masalah Agama tersebut, masalah tawassul dalam mendoa dikemukakan secara
panjang lebar, dilengkapi dengan tanya-jawab, dan disertai pula dengan
dalil-dalil yang menyatakan tatacara dan kebolehan seseorang untuk berdoa
dengan cara bertawassul.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani
Abdan yang dikenal luas oleh masyarakat Banjar dan Bangil khususnya sebagai
seorang ulama yang memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental
spiritual umat melalui keilmuan dan kiprah keagamaan selama beliau hidup.
Aktivitas beliau yang tidak jauh dari rutinitas ibadah, muthala’ah, halaqah,
dakwah, ta’lim, dan menulis risalah bimbingan keagamaan untuk masyarakat serta
mendirikan Pondok Pesantren Datuk Kalampayan di Bangil memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap kegiatan amal ibadahn dan keagamaan masyarakat.
Berkenaan dengan hadits, beliau sangat hati-hati dalam
menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan
hadits tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan hadits, beliau sangat hati-hati
dan penuh adab. Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman
Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh ‘Alimul ;Allamah Tuan Guru H. Anang
Sya’rani Arif. Ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H.
Anang Sya’rani Arif, maka beliau menyuruh orang itu untuk menanyakannya kepada
Guru Bangil. Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama
yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi
semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak mewariskan harta
kepada anak cucu beliau.
Al- Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan
Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis
Guru Bangil yang paling populer. Buku ini ditulis beliau atas permintaan
masyarakat Bangil karena adanya pernyataan-pernyataan para pemikir muda yang
kontradiktif (berlawanan) dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu.
Menurut beliau, talqin, bacaan, doa dan sedekah untuk mayit serta tawassul
diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam asalkan sesuai dengan
kaedah yang dicontohkan oleh ulama.
RUJUKAN
Buku
Abbas, Siradjuddin, 40 Masalah Agama, Jilid I – IV, Pustaka
Tarbiyah, Jakarta, 2000.
Abdullah bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus
Arab-Indonesia-Inggeris, CV. Mutiara, Jakarta, 1969.
Abdul Syukur, “Peran Pondok Pesantren di Kota Serambi
Mekah”, dalam Setia Budhi, dkk, Mendampingi Aspirasi Masyarakat Kota Serambi
Mekkah Martapura Darussalam, CRDS, Banjarmasin, 2000.
Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan
Haji Besar, Yayasan Pendidikan Islam Dalam Pagar (YAPIDA), Martapura, 2003.
Abu Nazla Muhammad Muslim Safwan, 100 Tokoh Kalimantan 1,
Toko Buku Sahabat, Kandangan, 2007.
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam: Pesan untuk Para
Intelektual Muslim, Mizan, Bandung, 1993.
Al-Marbawi, Idris Abdur Rauf, Kamus Idris Al-Marbawi,
Musthafa al-Babil Halabi, Mesir, 1350 H.
Al-Maududi, Abu al-A’la, Tajdid ad-Din wa Ihyaihi, terj.
Ahmadie Thaha dan Saiful Islam Farenduani, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1984.
As-Sayuthi, Jalaluddin, Jami’ush Shagir, Darul Kutubi
al-Halabi, Kairo, 1967.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Jakarta, 1982.
Djalinus Syah (et.al.), Kamus Pelajar Kata Serapan Bahasa
Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
Hughes, Thomas Patrich, Dictionary of Islam, Oriental
Reprint, New Delhi-India, 1976.
Kafrawi Hamzah, Ulama dan Tanggung Jawabnya, CV. Pedoman
Ilmu Jaya, Jakarta, 1994.
Kasyful Anwar, Manaqib ‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H.
Muhammad Sjarwani Abdan, tidak diterbitkan.
Louis Ma’luf, Al-Munjid fil Lughah, Darul Masyriq, Beirut,
1977.
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah dan Pentafsir Al-Quran, Jakarta, 1973.
Masdari dan Zulfa Jamalie (ed.), Khazanah Intelektual Islam
Ulama Banjar, Pusat Pengkajian Islam Kalimantan (PPIK) IAIN Antasari,
Banjarmasin, 2003.
Moenawar Cholil, Fungsi Ulama dalam Masjarakat dan Negara,
NV. Bulan Bintang, Jakarta, 1957.
Muhammad Abdul Mujieb AS, Ciri-ciri Ulama Dunia dan Akhirat,
Mahkota, Surabaya, 1986.
Muhammad Hatim Salman, “Masyarakat Islam: Perubahan dan
Kesempatan”, dalam Setia Budhi, dkk, Mendampingi Aspirasi Masyarakat Kota
Serambi Mekkah Martapura Darussalam, CRDS, Banjarmasin, 2000.
Muhammad Ihsan Dahlan, Sirajut Thalibin, Jilid I, tanpa
penerbit.
Muhammad Sjarwani Abdan, Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli
al-Istiqamah: Simpanan Berharga Masalah Talqin-Tahlil-Tawassul, cetakan ke-4,
PP. Datuk Kalampayan, Bangil, 2003.
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya
Manusia, Lantabora Press, Jakarta, 2004.
Nasution, Harun, (eds.), Ensiklopedi Islam, Jilid 3,
(Jakarta: Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama, 1992/1993), h.1250.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indoensia, PN.
Balai Pustaka, Jakarta, 2003.
Rosyad Shaleh, A., Management Da’wah Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1977.
Sayyid Quthub, Fi Dzilalil Qur’an, Jilid VI, Musthafa
al-Babil Halabi wa Auladuhu, Mesir, 1973.
Setia Budhi, dkk, Mendampingi Aspirasi Masyarakat Kota
Serambi Mekkah Martapura Darussalam, CRDS, Banjarmasin, 2000.
Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi, PT. Bina Ilmu,
Surabaya, 1983.
Zafri Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Ulama Besar
Juru Dakwah, Percetakan Karya, Banjarmasin, t.th.
Zaidan, Abdul Karim, Ushulud Da’wah, terj. M. Asywadie
Syukur, Media Da’wah, Jakarta, 1980.
Zulfa Jamalie, dkk, (ed.), Biografi dan Pemikiran Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari: Matahari Islam Kalimantan, Pusat Pengkajian Islam
Kalimantan (PPIK) IAIN Antasari, Banjarmasin, 2005.
Zulfa Jamalie, Perjuangan Tokoh Membumikan Islam di Tanah
Banjar, Ceprus, Banjarmasin, 2005.
———, Generasi Emas: Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan
Keturunannya, Lembaga Kajian Islam, Sejarah, dan Budaya Banjar, Banjarmasin,
2007.
Internet
http://www.banjarkab.go.id/ “Ribuan Jamaah Padati Haul Guru
Bangil”.
Diakses pada, Sabtu, 2 Februari 2008.
http://www.indomedia.com/bpost/032006/22/kalsel/lbm3.htm
“Haul ke-17 Guru Bangil: Cinta Allah dan Rasul sejak Remaja
(1)”
Diakses pada, Sabtu, 2 Februari 2008.
http://www.indomedia.com/bpost/032006/22/kalsel/lbm3.htm
“Haul ke-17 Guru Bangil : Hindari Godaan Dunia untuk Akhirat
(2)”
Diakses pada, Sabtu, 2 Februari 2008.
http://www.banjarkab.go.id/ “Haul Tuan Guru H.M. Sjarwani
Abdan (Guru Bangil) yang ke-18”.
Diakses pada, Senin, 22 April 2008.
http://www.banjarkab.go.id/ “Haul ke-19 Guru Bangil
Diperingati”.
Diakses pada, Senin, 22 April 2008.
http://www.indomedia.com/bpost/072007/20/opini/opini2.htm
“Tradisi Haul dan Kohesi Sosial”
Diakses pada, Sabtu, 2 Februari 2008.
Jurnal dan Majalah
A Athaillah, “Perkembangan Tarekat Sammaniyah di Kalimantan
Selatan”, Jurnal Khazanah, Volume III, Nomor 2, Maret-April 2004, IAIN Antasari
Banjarmasin.
Mugeni Hasar, “Pemikiran Tasawuf Syekh Abdurrahman Siddiq:
Telaah Atas Kitab Amal Ma’rifah”, Jurnal Khazanah, Volume III, Nomor 2,
Maret-April 2004, IAIN Antasari Banjarmasin.
“Tuan Guru H. Sjarwani Abdan: Menebar Ilmu di Perantauan”,
Koran Mingguan Ishlah, No. II/Tahun II/Maret 2007, diterbitkan oleh Yayasan
Sultan Adam Martapura.
“Kedudukan Ulama Menurut Imam Ali bin Abi Thalib”, Majalah
Cahaya Sufi, edisi Mei 2007.
Zulfa Jamalie, “Melacak Jejak Pembawa Tarekat Sammaniyah di
Tanah Banjar”, Jurnal Khazanah, Volume II, No. 5, September-Oktober 2003, IAIN
Antasari Banjarmasin.
[1]Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam: Pesan untuk
Para Intelektual Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), h.25.
[2]“Kedudukan Ulama Menurut Imam Ali bin Abi Thalib”,
Majalah Cahaya Sufi, edisi Mei 2007, h.48-52.
[3]Qadhi H. Abu Su’ud adalah anak Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari dan Tuan Bidur yang merupakan moyang dari Tuan Guru H. Husin Kedah
bin H. Muhammad Thayyib, seorang ulama besar yang disegani dan dihormati oleh
masyarakat Melayu (Kedah-Malaysia). Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari: Tuan Haji Besar, (Dalam Pagar Martapura: Sekretariat Madrasah
Sullamul Ulum, 1996), h.115-116.
[4]Ibid., h.118.
[5]Menurut K.H. Abdul Syukur ada beberapa indikasi sehingga
Kota Martapura disebut sebagai Kota Serambi Mekkah, yakni: kehidupan
masyarakatnya yang agamis, peran para ulama dalam mengembangkan ilmu, banyaknya
madrasah dan pondok pesantren, banyaknya pengajian dan majelis taklim,
masyarakatnya yang gemar ibadah-ibadah sunah, tokoh-tokoh panutan masyarakat
yang berasal dari kalangan ulama d`n guru-guru agama, tingginya kecenderungan
masyarakat terhadap pendidikan Islam. Lihat dalam Setia Budhi dkk, Mendampingi
Aspirasi Masyarakat Kota Serambi Mdkkah Martapura Darussalam, (Banjarmasin:
CRDS, 2000), h.34. K.H. Hatim Salman menambahkan, bahwa Martapura disebut
sebagai Kota Serambi Mekkah karena merupakan kota bersejarah penerapan syariat
Iqlam di masa Kerajaan Banjar ketika diberlakukannya Undang-Undang Sultan Adam
(UUSA)”, lihat dalam Setia Budhi dkk, Ibid., h.45. Ada pula yang menyebut
Martapura sebagai “Kota Santri” dan “Bumi Ulama”, sebab di kota ini banyak
melahirkan ulama-ulama besar dan pusat pengkajian ilmu (pondok pesantren
ataupun kaji duduk) dari dulu hingga sekarang. lihat Zulfa Jamalie, Generasi
Emas: Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Keturunannya, (Banjarmasin: Lembaga
Kajian Islam, Sejarah, dan Budaya Banjar, 2007), h.63.
[6]Ada perbedaan pendapat berkenaan dengan riwayat
pendidikan Guru Bangil di sini, karena, berdasarkan data yang diakses dari
website Kabupaten Banjar (http://www.banjarkab.go.id/) dinyatakan bahwa Guru
Bangil pernah masuk dan belajar di Pondok Pesantren Darussalam Martapura.
Sedangkan menurut informasi Guru H. Ahmad Barmawi (Martapura) yang merupakan
murid Guru Bangil angkatan pertama, menyatakan bahwa Guru Bangil tidak pernah
masuk dan belajar di Pondok Pesantren Darussalam Martapura, beliau hanya kaji
duduk dengan sejumlah ulama atau Tuan Guru yang sebagiannya mengajar di Pondok
Pesantren Darussalam Martapura, salah seorang di antara guru beliau dan sangat
dikenal adalah Tuan Guru H. Kasyful Anwar bin H. Ismail. Tuan Guru H. Kasyful
Anwar sendiri adalah paman dari Guru Bangil dan merupakan pimpinan Pondok
Pesantren Darussalam Martapura Periode III (1922-1940).
[7]Wawancara dan keterangan Ustadz H. Ahmad Mulkani, Kampung
Melayu Banjarmasin (salah seorang murid Guru Bangil). Menurut Ustadz H.
Mulkani, informasi ini beliau dapat dari salah seorang anak Guru Mukhtar
Khatib.
[8]’Alimul ‘Allamah H. Anang Sya’rani Arif juga seorang
ulama besar Martapura dan ahli dalam ilmu hadits dan tafsir. Beliau terkenal
dan menyandang gelar sebagai muhaddits, yakni seorang yang ahli dan hapal
beribu-ribu matan hadits lengkap dengan sanadnya. Beliau juga pembaharu dan
pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Martapura periode V (1959-1969).
[9]Abu Daudi, op. cit., h.118.
[10]http://www.banjarkab.go.id/.
[11]Abu Nazla Muhammad Muslim Safwan, 100 Tokoh Kalimantan
1, (Kandangan: Toko Buku Sahabat, 2007), h.223.
[12]Sanad ijazah tarekat Sammaniyah yang diterima oleh Guru
Bangil bersumber dari Syekh Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari, yang
menerimanya dari Syekh Zainuddin al-Sumbawi, yang menerimanya dari Syekh
Muhammad Nawawi al-Bantani, yang menerimanya dari Syekh Syihabuddin, yang menerima
dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang langsung menerimanya dari Syekh
Muhammad Samman al-Madani. Guru Bangil kemudian mengajarkannya kepada Guru
Sekumpul. Lihat A Athaillah, “Perkembangan Tarekat Sammaniyah di Kalimantan
Selatan”, Jurnal Khazanah, Volume III, Nomor 2, Maret-April 2004, IAIN Antasari
Banjarmasin, h.228.
[13]wawancara dengan Ustadz Subki, (Tunggul Irang,
Martapura), tanggal 9 Oktober 2008
[14]Menurut keterangan Ustadz Subki, Guru Bangil menerima
ijazah tarekat Naqsabandiyah dari Syekh Sayid Muhammad Amin Kutbi, wawancara
pada tanggal 9 Oktober 2008.
[15]Abu Daudi, op. cit., h.118 dan 120.
[16]Guru Sekumpul (7 Muharram 1361 H/11 Februari 1942 M ― 5
Rajab 1428 H/10 Agustus 2005 M) adalah sosok ulama kharismatik dan mumpuni,
yang keharuman nama dan keilmuannya tidak hanya dikenal di Kalimantan,
Indonesia, akan tetapi sampai ke negara jiran, seperti Malaysia, Singapura, dan
Brunei Darussalam. Guru Sekumpul merupakan generasi penerus Guru Bangil, yang
semasa hidupnya juga dikenal sebagai seorang ulama yang menghimpun antara
syariat, tarekat, dan hakikat, dan satu-satunya ulama yang mendapat izin untuk
mengijazahkan tarekat Sammaniyah.
[17]Kasyful Anwar, Manaqib Guru Bangil, t.p., h.1.
[18]Abu Nazla Muhammad Muslim Safwan, op. cit., h.223.
[19]Kasyful Anwar, op. cit., h.1.
[20]Wawancara dengan Guru H. Ahmad Barmawi (Batuah,
Martapura) pada tanggal 13 Juli 2008.
[21]Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari:
Tuan Haji Besar, cetakan baru, (Martapura: Yayasan Pendidikan Islam Dalam
Pagar, 2003), h.175.
[22]Wawancara dengan Ustadz Subki, pada tanggal 9 Oktober
2008
[23]Wawancara dengan Ustadz H. Ahmad Mulkani, pada tanggal 9
September 2008.
[24]Haul atau bahaul menurut Alfisyah (2007) merupakan
tradisi keagamaan yang sering dikaitan dengan kebiasaan Islam tradisional.
Upacara ini merupakan ritual tahunan untuk memperingati wafatnya seseorang yang
dianggap memiliki kekhususan, yakni para ulama. Karena itu, sebagai sebuah
tradisi keagamaan haul memiliki banyak makna penting. Pertama, haul menjadi
support emosional, hiburan, dan rekonsiliasi untuk mengatasi masalah
ketidakpastian, kekecewaan bahkan keterpencilan dari tujuan dan norma sosial
yang dihadapi masyarakat. Kedua, lewat doa dan zikir yang diliputi suasana
sakral, ritual bahaul memberikan hubungan transendental sehingga menyediakan
rasa aman dan identitas yang kokoh bagi manusia. Ia juga memberikan pengalaman
keagamaan yang mungkin saja mulai terkikis dari kehidupan. Ketiga, pembacaan
riwayat hidup (manaqib) tokoh yang senantiasa dibacakan dan disosialisasi dalam
setiap upacara tahunan ini, memberikan kesadaran tentang berbagai kelebihan
(kesalehan, keilmuan, dan kealiman) tokoh, sehingga menjadi inspirasi untuk
kembali memperkokoh kesalehan individu dan sosial. Keempat, banyaknya orang
terlibat dan datang dalam kegiatan itu menunjukkan ritual keagamaan ini masih
cukup mampu menjadi institusi untuk menguatkan solidaritas sosial masyarakat. Lihat
dalam http://www.indomedia.com/ bpost/072007/ 20/opini/opini2.htm
[25]Madrasah Al-Istiqamah adalah sebuah madrasah yang
dibangun pada tahun 1931 M. oleh “Alimul ‘allamah Qadhi Tuan Guru H. Muhammad
Thaha (salah seorang guru beliau sewaktu di Martapura, yang wafat pada tahun
1361 H/1942 M), lihat Abu Daudi, 2003, op. cit., h.175.
[26]Menurut Abu Daudi: Pada suatu ketika para guru atau Kyai
di pesantren yang berada di wilayah Jawa Timur hendak belajar ilmu-ilmu agama
yang lebih mendalam lagi kepada Kyai Hamid Pasuruan, namun Kyai Hamid tidak mau
mengajari, Beliau menyuruh mereka untuk belajar kepada Guru Bangil. Maka para
Kyai tersebut datanglah kepada Guru Bangil dengan membawa pesan dari Kyai
Hamid. Namun mereka datang itu bukan saja membawa pesan dari Kyai Hamid, tetapi
mereka juga membawa pertanyaan atau menanyakan beberapa masalah kepada beliau
untuk dipecahkan, dalam arti kata para Kyai tersebut ingin menguji lebih dahulu
sampai di mana kedalaman ilmu Guru Bangil. Semua pertanyaan yang mereka ajukan
dijawab oleh Guru Bangil lengkap dengan rujukan kitabnya. Kitab-kitabnyapun
langsung beliau buka di hadapan mereka. Hal semacam ini bukan hanya sekali,
tetapi berulang-ulang kali, sehingga para Kyai tadi yakin akan keilmuan Guru
Bangil dan mereka memohon kepada beliau untuk diajari ilmu-ilmu agama. Dengan
terlebih dahulu memohon restu dan meminta izin dengan Kyai Hamid Pasuruan, Guru
Bangil pun akhirnya membuka pengajian. Lihat Abu Daudi, 2003, op. cit., h.176.
[27]Pondok Pesantren Datuk Kalampayan ini beralamat di Jl.
Mujair Kelurahan Kauman Kota Bangil Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, letaknya
persis berdekatan dengan Masjid alun-alun Kota Bangil.
[28]Wawancara dengan Ustadz H. Ahmad Mulkani, pada tanggal
12 oktober 2008.
[29]Menurut keterangan dari Ustadz Subki (wawancara pada
tanggal 9 Oktober 2008), permasalahannya waktu itu adalah bahwa di aeral di
sekitar masjid yang hendak diperluas tersebut dulunya adalah kuburan/makam,
sementara ahli waris kuburan tersebut sudah tidak diketahui lagi, sehingga timbul
masalah. Apakah boleh atau tidak memperluas masjid di tanah tersebut yang ada
kuburan di bawahnya? Akibat masalah ini terjadi perbedaan pendapat dan
perluasan pembangunan masjid tertunda. Untuk memecahkan dan mencari jalan
keluarnya, pengurus masjid dan masyarakat pun akhirnya meminta pendapat dan
nasihat kepada kepada Guru Bangil. Menurut Guru Bangil, berdasarkan kitab-kitab
fikih yang ada, secara tegas di dalam mazhab Syafi’i tidak diperbolehkan untuk
membangun masjid di atas tanah yang ada kuburannya, namun ada mazhab lain yang
membolehkan hal tersebut dilakukan mengingat kemanfaatan dan kemashlahatannya
bagi umat Islam. Oleh pengurus masjid dan masyarakat Bangil, pendapat ulama
yang membolehkan untuk membangun atau memperluas masjid sesuai dengan kebutuhan
di atas tanah bekas kuburan inilah yang kemudian dipakai dan dijadikan sebagai
rujukan, sehingga akhirnya perluasan masjidpun bisa dilaksanakan. Wawancara
pada tanggal, 9 Oktober 2008.
[30]Wawancara dengan Ustadz H. Ahmad Mulkani pada tanggal, 9
September 2008.
[31]Wawancara dengan Ustadz Subki pada tanggal, 9 Oktober
2008 .
[32]Wawancara dengan Ustadz Subki pada tanggal, 9 Oktober
2008.
[33]Wawancara dengan Ustadz H. Ahmad Mulkani pada tanggal, 9
September 2008.
[34]Wawancara dengan Guru H. Ahmad Barmawi pada tanggal, 13
Juli 2008.
[35]Wawancara dengan Ustadz Subki pada tanggal, 9 Oktober
2008.
[36]H.M. Sjarwani Abdan, Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli
al-Istiqamah: Simpanan Berharga Masalah Talqin-Tahlil-Tawassul, cetakan ke-4,
(Bangil: PP. Datuk Kalampayan, 2003), h.141.
[37]Menurut keterangan Guru H. Ahmad Barmawi, buku ini
ditulis beliau atas permintaan masyarakat Bangil karena adanya
pernyataan-pernyataan dari tokoh dan pendiri Persis, Hassan Bandung yang sangat
kontradiktif dengan pemahaman keagamaan masyarakat waktu itu. Awalnya buku yang
beliau tulis sangat tebal, karena isinya memuat pernyataan-pernyataan Hassan
Bandung kemudian dilanjutkan sanggahan-sanggahan (argumentasi) oleh Guru
Bangil. Akan tetapi ketika buku itu hendak dicetak, Hassan Bandung keburu
meninggal dunia. Guru Bangil pun akhirnya meminta agar buku itu diringkas saja,
karena beliau merasa kurang enak ditulis dengan gaya debat kalau orang yang
diajak mudzakarah sudah meninggal dunia. Wawancara pada tanggal, 13 Juli 2008.
[38]Secara bahasa bid’ah artinya sesuatu yang diadakan tanpa
contoh yang terdahulu, sesuatu barang yang pertama adanya, mengadakan sesuatu
tidak menurut contoh, diciptakan tanpa contoh, atau menciptakan dan membuat
sesuatu tanpa contoh yang terdahulu. Secara terminologis, misalnya menurut
Syekh Izzuddin bin Abdul Salam, bid’ah adalah sesuatu pekerjaan keagamaan yang
tidak dikenal pada zaman Rasulullah Saw. Menurut Imam Syafi’i bid’ah itu ada
dua, yakni bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah. Bid’ah dhalalah adalah bid’ah
yang sesat atau tercela, yakni pekerjaan keagamaan yang berlainan atau
bertentangan dengan Alquran dan Sunnah Nabi Saw, atsar para sahabat, dan ijma’
ulama. Sedangkan bid’ah hasanah adalah pekerjaan keagamaan yang baik yang tidak
bertentangan Alquran dan Sunnah Nabi Saw, perbuatan para sahabat, serta ijma’
ulama. Lihat Siradjuddin Abbas dalam buku, 40 Masalah Agama, Jilid III,
(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2000), h.153-158.
[39]Jangka waktu mulai onta disembelih sampai dagingnya
dibagi-bagikan diperkirakan sekitar 45 menit.Kiprah Keulamaan dan Pemikiran Tuan Guru H. Muhammad
Sjarwani Abdan al-Banjari (Guru Bangil)
Oleh : Masdari, M. Rif’at, dan Zulfa Jamalie
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk memetakan dan mendeskripsikan
kiprah keulamaan dan pemikiran keagamaan Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan
(Guru Bangil) sebagai bagian penting dari eksplorasi terhadap khazanah
intelektual ulama Banjar, dan dilengkapi pula dengan kajian terhadap riwayat
hidup beliau. Karena, bagi masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan) dan
masyarakat Bangil (Jawa Timur) khususnya, nama Guru Bangil tidaklah asing lagi.
Guru Bangil adalah seorang ulama yang alim dan tawadhu’.
Keluasan dan ketinggian ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar
dan menuntut ilmu dengan beliau, termasuk pula para kyai. Ketika hidup, beliau
menjadi referensi bagi para guru agama dan masyarakat dalam memecahkan berbagai
permasalahan keagamaan. Keilmuan dan kiprah keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih
besar terhadap pembangunan mental spiritual umat, tidak hanya di kota kelahiran
beliau Martapura, akan tetapi juga di Kota Bangil tempat Beliau menetap dan
meninggal dunia. Secara geneologis, Guru Bangil merupakan generasi ke-8 dari
ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan salah seorang guru
dari ‘Alimul Fadhil Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru
Sekumpul).
Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan
Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis
Guru Bangil yang paling populer, dicetak, dipublikasikan, dan banyak dijadikan
rujukan oleh masyarakat Banjar, terutama di Martapura dan Bangil.
LATAR BELAKANG
Umumnya, dalam komunitas Islam diberbagai daerah kehadiran
ulama dalam memberi warna kehidupan masyarakat memang sangat signifikan. Ulama
memiliki kedudukan sangat penting di tengah-tengah masyarakatnya, sehingga
kata-katanya dipatuhi dan perilakunya diikuti. Dalil utama yang sering menjadi
sandaran atas peran penting ulama, sehingga mereka menjadi tokoh kunci (key
people) dalam masyarakatnya tersimpul dalam hadits Nabi Saw: “Ulama adalah
pewaris para Nabi”.
Menurut bahasa, ulama merupakan bentul plural dari kata
alim, yang berarti orang yang mempunyai sifat tahu, mengerti, terpelajar,
berilmu atau ilmuwan. Dalam Alquran seperti tercantum dalam surah Asy Syuraa
197 dan Al Fathir 28 dijelaskan bahwa makna ulama yang terkandung dalam ayat
tersebut tidak selalu merujuk kepada pengertian khusus yang berarti sebagai
orang-orang yang berpengetahuan agama saja, namun ia bersifat umum. Karena itu
jika kita telusuri ulama hanyalah salah satu kelompok atau sinonim dari apa
yang disebut dengan istilah ulil albab, yakni orang-orang yang berakal,
mempunyai pikiran, cendikiawan. Ulama dianggap sebagai orang yang memiliki
pengetahuan dan pemahaman luas akan agama serta memiliki kebijaksanaan (men of
understanding and men of wisdom).
Dalam Alquran, kata-kata ulil albab disebut enam belas kali,
antara lain mereka yang termasuk dalam kelompok ulil albab disebut sebagai
“orang yang diberi hikmah” (Al-Baqarah 269), “orang yang sanggup mengambil
pelajaran” (Yusuf 111), “mereka yang kritis mendengarkan pemikiran orang lain”
(Az-Zumar 18), “orang yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu” (Ali Imran
109), “orang yang mengambil pelajaran dari kitab yang diwahyukan oleh Allah”
(As-Shaad 29, Al-Mu’min 54 dan Ali Imran 7), dan “orang-orang yang merasa takut
kepada Tuhannya”.
Karena itulah, Ali Syariati (seorang sosiolog Muslim Iran)
menjuluki kelompok ulil albab tersebut sebagai pemikir yang mencerahkan. Ulama
diibaratkan tongkat pemandu jalan di siang hari dan obor penerang di malam
Karena itu, kehadirannya tidak hanya concern dengan peran keulamaannya semata,
tetapi mestinya juga terpanggil untuk melaksanakan kebenaran guna memperbaiki
kehidupan masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskan bahasa yang
dapat dipahami mereka, serta siap menawarkan strategi dan alternatif solusi cerdas
terhadap berbagai problem yang dihadapi oleh masyarakat. Inilah tugas utama
ulama kata Syariati. Untuk itu, mestinya ia tidak hanya pandai dalam ilmu-ilmu
agama, akan tetapi ia juga harus tahu ilmu-ilmu pengetahuan lain guna menunjang
tugas yang diembannya selaku waratsatul anbiyaa.[1]
Imam Ali bin Abi Thalib ra menegaskan bagaimana strategisnya
kedudukan ulama di tengah-tengah masyarakat. Menurut Imam Ali: “Ulama adalah
lampu Allah di bumi, maka barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, dia
akan memperoleh cahaya (ilmu) itu darinya. Kedudukan ulama bagaikan pohon
kurma, engkau menunggu kapan buahnya jatuh kepadamu. Jika seorang ulama
meninggal, maka terjadi lubang dalam Islam yang tidak tertutupi sehingga datang
ulama lain yang akan menggantikannya. Kesalahan yang dilakukan ulama seperti
pecahnya sebuah kapal, yang tidak hanya menenggelamkan dirinya, akan tetapi
juga orang-orang yang ikut bersamanya”.[2]
Dari kota Martapura, salah seorang ulama yang terkenal
namanya bagi masyarakat Banjar (Martapura) dan masyarakat Bangil (Pasuruan)
khususnya, adalah Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan. Karenanya, bagi
masyarakat Banjar dan masyarakat Bangil, nama Guru Bangil, pendiri Pondok
Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil Kabupaten Pasuruan Jawa Timur tidaklah
asing lagi. Keilmuan dan kiprah keagamaan beliau telah memberikan sumbangsih
besar terhadap pembangunan mental spiritual umat, tidak hanya di daerah
kelahiran beliau Kota Martapura dan sekitarnya, akan tetapi juga di Kota Bangil
(Pasuruan).
Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan yang akrab dipanggil
Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang alim dan tawadhu’. Keluasan dan
ketinggian ilmu beliau diakui, sehingga banyak orang yang belajar dan menuntut
ilmu dengan beliau, termasuk pula para kyai yang ada di Kota Pasuruan, Bangil
dan sekitarnya. Ketika hidup, beliau menjadi referensi bagi para guru agama dan
masyarakat dalam memecahkan berbagai permasalahan keagamaan. Guru Bangil juga
dikenal sebagai salah seorang keturunan ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari yang aktif berdakwah dan berjuang tanpa pamrih.
Kiprah Guru Bangil untuk membangun spiritual dan kecerdasan
beragama masyarakat merupakan sumbangsih besar yang menarik untuk dikaji.
Karena, aktivitas keulamaan dan pemikiran keagamaan Guru Bangil telah memberi
warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat Islam dan menjadi aset penting bagi
masyarakat Banjar dan Bangil khususnya.
PROFIL DAN SEJARAH HIDUP GURU BANGIL
A. Kelahiran
Guru Bangil yang bernama lengkap H. Muhammad Sjarwani Abdan
bin H. Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf bin H. Muhammad Shalih Siam bin H.
Ahmad bin H. Muhammad Thahir bin H. Syamsuddin bin Sa’idah binti Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari dilahirkan di Kampung Melayu Ilir Martapura. Tidak diketahui
secara pasti kapan tanggal kelahiran beliau, dari beberapa catatan yang ada
hanya dituliskan tahun kelahiran beliau, yakni pada tahun 1915 M/1334 H.
Menurut silsilahnya, Guru Bangil merupakan zuriat ke-8 dari
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, dari istri Al-Banjari yang kedua, yang
bernama Tuan Bidur. Moyang Guru Bangil yang bernama Sa’idah adalah anak dari
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Tuan Bidur. Sa’idah memiliki saudara tiga
orang, yakni ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. Abu Su’ud,[3] ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H.
Abu Na’im, dan ‘Alimul ‘Allamah Khalifah H. Syahabuddin.
Guru Bangil terlahir dari keluarga yang agamis dan dikenal
luas oleh masyarakat Martapura sebagai ‘keluarga alim’. Ayahnya bernama H.
Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf, sedangkan ibunya bernama Hj. Mulik. Guru
Bangil mempunyai 7 orang saudara kandung, nama-nama saudara Guru Bangil
tersebut adalah: H. Ali, Hj. Intan, Hj. Muntiara, Abd. Razak, Husaini, Acil,
dan H. Ahmad Ayub
Selain mempunyai saudara sekandung yang berjumlah 7 orang,
Guru Bangil juga mempunyai saudara seayah, di antaranya adalah Abd. Manan dan
H.M. Hasan.
B. Pendidikan
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama
yang dirasakan oleh Guru Bangil. Berdasarkan catatan H. Abu Daudi dalam
bukunya, “Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar”, sejak
kecil Guru Bangil sudah dikenal sebagai seorang yang memiliki himmah kuat untuk
belajar dan menuntut ilmu, terutama ilmu agama.[4] Beliau dikenal sebagai anak
yang rajin dan tekun dalam belajar, sehingga disayangi dan disenangi oleh
guru-guru beliau. Terlebih-lebih beliau berasal dari dan dibesarkan di lingkungan
keluarga yang agamis dan “Serambi Mekkah”, Martapura.[5] Karena itu, di samping
dididik dalam lingkungan dan oleh keluarga, Guru Bangil juga mendapat didikan
dan mulai menyauk ilmu agama di Pesantren Darussalam Martapura[6] dan dari
sejumlah ulama besar yang hidup pada waktu itu, antara lain kepada ‘Alimul
‘Allamah Tuan Guru H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, ‘Alimul Fadhil Qadhi H.M.
Thaha, dan ‘Alimul Fadhil H. Isma’il Khatib Dalam Pagar, Martapura.
Beliau juga pernah belajar ilmu agama dengan Guru Mukhtar
Khatib, di mana menurut cerita yang berkembang, beliau belajar sambil mengayuh
jukung (perahu).[7]
Setelah cukup banyak belajar ilmu agama di Martapura, Guru
Bangil pada usia yang masih muda meninggalkan daerah asalnya Martapura menuju
pulau Jawa dan bermukim di kota Bangil, dengan satu tujuan memperdalam ilmu
agama Islam. Selama beberapa tahun di kota Bangil, beliau sempat belajar dan
berguru pada ulama-ulama terkenal di kota Bangil dan Pasuruan antara lain K.H.
Muhdor, K.H. Abu Hasan, K.H. Bajuri dan K.H. Ahmad Jufri.
Pada sekitar usia 16 tahun Guru Bangil kemudian melanjutkan
belajar ilmu agama ke Tanah Suci Mekkah. Beliau berangkat bersama-sama dengan
saudara sepupu beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Anang Sya’rani Arif[8] di bawah
pengawasan paman beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, yang
pada saat itu juga sedang bermukim di Mekkah. Selama di Mekkah, Guru Bangil
menuntut berbagai cabang ilmu agama dengan beberapa orang guru, di antaranya
adalah kepada ‘Alimul ‘Allamah Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Syekh Umar
Hamdan, dan ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari.[9] Di
samping itu, Guru Bangil juga belajar dan mengkaji ilmu kepada Syekh Sayyid
Alwi al-Maliki, Syekh Muhammad Arabi, Syekh Hasan Massyath, Syekh Abdullah
Bukhori, Syekh Saifullah Andagistani, Syekh Syafi’i Kedah, Syekh Sulaiman
Ambon, dan Syekh Ahyat Bogori.[10] Abu Nazla menambahkan bahwa selama di
Mekkah, Guru Bangil dan Guru Anang Sya’rani Arif juga belajar kepada Syekh
Bakri Syatha dan Syekh Muhammad Ali bin Husien al-Maliki.[11]
Selama mukim di Mekkah berbagai cabang ilmu agama telah
dikaji dan dipelajari oleh Guru Bangil. Banyak pula silsilah sanad, ilmu dan
amal yang beliau terima. Salah satu cabang ilmu yang menonjol yang dikuasai
oleh Guru Bangil adalah ilmu tasawuf. Di bidang ilmu tasawuf ini, Guru Bangil
telah menerima ijazah tarekat Naqsabandiyah dari ‘Alimul ‘Allamah Syekh Umar
Hamdan dan ijazah tarekat Sammaniyah dari ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin
Abdullah al-Banjari.[12] Ijazah tarekat Idrisiyah diterima dari ‘Alimul
‘Allamah Syafi”i bin Shalih al-Qadiri.[13]
Guru Bangil dikenal sebagai murid utama dan khalifah dari
guru besar bidang tasawuf, Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi untuk Tanah Jawa
(Indonesia). Dari Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi inilah Guru Bangil banyak
belajar dan mengkaji ilmu, khususnya tasawuf.[14] Tidak mengherankan jika
kemudian Guru Bangil menjadi seorang ulama yang wara, tawadhu’, dan khumul,
hapal Alquran serta menghimpun antara syariat, tarekat, dan hakikat.[15]
Guru Bangil juga merupakan salah seorang guru tasawuf dari
‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru
Sekumpul.[16] Guru Bangil Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif dikenal oleh gurunya
sebagai murid yang tekun dan menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu agama.
Guru-guru mereka sangat sayang karena melihat bakat dan kecerdasan mereka
berdua”. demikian yang tergambar dalam Manaqib Guru Bangil berkenaan dengan
semangat dan ketekunan dua saudara sepupu tersebut dalam dan selama menuntut
ilmu.[17] Bahkan, keadaan dan ketekunan mereka berdua selama menuntut ilmu di
Mekkah juga diibaratkan, “Siang bercermin kitab dan malam bertongkat
pensil”.[18] Sehingga wajar jika kemudian dalam beberapa tahun saja mereka
berdua mulai dikenal di Kota Mekkah dan mendapat julukan “Dua Mutiara dari
Banjar”. Bahkan mereka berdua mendapat kepercayaan untuk mengajar selama
beberapa tahun di Masjidil Haram (Mekkah) atas bimbingan Syekh Sayid Muhammad
Amin kutbi.[19]
Guru Bangil di mata guru-gurunya memang dikenal sebagai
seorang murid yang cerdas, namun beliau sendiri tidak mau menampakkan
kecerdasan tersebut, beliau selalu sederhana dan bahkan merendahkan hati,
sehingga banyak orang yang tidak tahu tentang beliau. Cerita tentang kedatangan
beliau di Bangil dan tidak mau membuka pengajian karena penghormatan terhadap
ulama yang ada di sana merupakan bukti kuat bahwa beliau adalah seorang yang
tidak suka menyombongkan diri, sebaliknya bersikap hormat dan selalu rendah
hati. Bahkan untuk menutupi ketinggian ilmunya setelah bertahun-tahun menuntut
ilmu di Mekkah, selama tinggal di Bangil beliau menutupi diri dengan menjadi
pedagang. Beliau juga tidak merasa kecil hati untuk belajar dan menuntut ilmu
kepada para ulama yang ada di Kota Bangil dan Pasuruan.
Menurut cerita salah seorang dari muridnya, dalam salah satu
tausiyahnya (agar tidak sombong) Guru Bangil juga pernah berkata dan menyatakan
bahwa beliau bukanlah orang cerdas sebagaimana yang disangkakan orang, beliau
hanya rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh dalam belajar, menjaga etika
belajar, hormat dengan guru dan tawakkal kepada Allah.[20]
Guru Bangil adalah seorang yang pandai menyembunyikan diri
(tidak suka pamer, sombong, atau takabbur), walaupun memiliki ilmu agama yang
luas.[21] Selama menuntut ilmu di Mekkah mendapat julukan “mutiara dari
Banjar”, pernah mengajar di Masjidil Haram, namun beliau tetap rendah hati dan
sederhana, sehingga di awal-awal berdiamnya beliau di Kota Bangil, banyak orang
yang tidak mengetahui siapa beliau sebenarnya, kecuali sesudah diberitahu oleh
Kyai Hamid yang merupakan Kyai Sepuh di Kota Pasuruan.
C. Keluarga
Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai
ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu
Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk
masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di
Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul
keluarganya yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Di Kota Bangil inilah, Guru Bangil dikawinkan dengan Hj.
Bintang binti H. Abd. Aziz ketika berusia lebih dari 30 tahun. Hj. Bintang
masih terhitung dan memiliki hubungan keluarga dengan beliau, karena Hj.
Bintang adalah anak paman beliau, yang berarti saudara sepupu. Dari
perkawinannya dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ini, Guru Bangil
mendapatkan beberapa orang anak, di antaranya: K.H. Kasyful Anwar, Zarkoni,
Abd. Basit, Malihah, dan Khalwani.
Setelah isteri beliau yang pertama (Hj. Bintang) meninggal
dunia, beliau kemudian kawin lagi dengan Hj. Gusti Maimunah dan dari
perkawinannya dengan Hj. Gusti Maimunah ini beliau mendapatlan beberapa orang
anak lagi, di antaranya adalah Hj. Imil, Noval, Didi, Yuyun, dan Mahdi
Isteri beliau yang ketiga adalah Hj. Fauziah. Dari
perkawinan dengan Hj. Fauziah ini, beliau mendapatkan beberapa orang anak pula,
di antaranya adalah M. Rusydi, Abd. Haris, dan Busra.[22] Menurut keterangan
Ustadz H. Mulkani jumlah anak beliau keseluruhan adalah 28 orang.[23]
H. Kasyful Anwar, anak Guru Bangil yang tertua adalah
generasi penerus dalam melaksanakan aktivitas pendidikan dan dakwah serta
pengelolaan Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil hingga sekarang
ini. Di samping itu beliau juga tercatat sebagai seorang dosen tetap pada
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
D. Wafat
“Sesungguhnya dicabut ilmu itu oleh Allah Swt dengan
kewafatan ulama”. Setelah sekian banyak mencetak kader ulama dan berkhidmat
dalam dakwah, meningkatkan ilmu dan amal bagi murid-murid dan masyarakat luas,
akhirnya pada malam Selasa jam 20.00 tanggal 11 September 1989 M bertepatan
dengan 12 Shafar 1410 H, Guru Bangil wafat dalam usia lebih kurang 74 tahun.
Beliau kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga dari para habaib bermarga
(vam) al-Haddad, berdekatan dengan makam Habib Muhammad bin Ja’far al-Haddad,
di Dawur, Kota Bangil yang berjarak tidak jauh dari rumah dan pondok pesantren
yang beliau bangun. Makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat Muslim dari
berbagai penjuru daerah, tak terkecuali dari Kalimantan Selatan.
Guru Bangil banyak meninggalkan contoh yang patut untuk
diteladani, beliau meninggalkan kebaikan yang layak untuk dikenang, dan beliau
meninggalkan warisan publik yang patut untuk diikuti. Kehadiran beliau di
tengah masyarakat Banjar dan Bangil terasa sangat luar biasa. Untuk
memperingati dan mengingat jasa-jasa beliau, serta untuk mengikuti jejak dan
perjuangan beliau dalam mendakwahkan Islam, saban tahun, yakni setiap tanggal
12 Shafar diadakan haul[24] Guru Bangil, yang selalu dihadiri oleh ribuan
jamaah dari berbagai, terutama jamaah dari Kalimantan serta murid-murid beliau.
KIPRAH DAN PEMIKIRAN
Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba berbagai
ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu
Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk
masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di
Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul
keluarga yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Sebelum beliau bepergian ke Bangil (dalam tahun 1945/1946),
beliau sempat mengajar di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar Martapura,[25]
namun pengabdian Guru Bangil di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar ini tidak
lama, karena pada tahun 1946 beliau kemudian pindah dan hijrah ke Bangil,
menyusul keluarga yang telah lama berdiam di sana.
Setelah beberapa tahun berdiam di kota Bangil, Guru Bangil
mulai mengajar dan mengabdikan ilmunya secara luas kepada masyarakat setelah
mendapatkan restu dari Kyai Hamid Pasuruan yang merupakan ulama Sepuh pada
waktu itu.[26] Di samping muthala’ah dan membuka pengajian, Guru Bangil juga
mendirikan pondok pesantren untuk ‘kaji duduk’ ilmu-ilmu agama yang diberi nama
Pondok Pesantren “Datuk Kalampayan” pada tahun 1970. Santri-santrinya
kebanyakan berasal dari Kalimantan, terutama dari Kalimantan Selatan.[27]
Pondok Pesantren tersebut langsung ditangani sendiri oleh
Guru Bangil. Beliau juga aktif dan tanpa kenal lelah mengajarkan ilmu kepada
para santri, sekalipun dalam keadaan sakit. Malam hari pun diisi dengan
berbagai kegiatan amaliyah, halaqah, dan muthala’ah. Sehingga, banyak para
santri beliau yang kemudian menjadi orang alim dan tersebar diberbagai daerah,
baik di Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan lain-lain untuk meneruskan perjuangan
Islam. Di antara santri/murid-murid beliau tersebut adalah:
1. ’Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul
Ghani Sekumpul Martapura, Pendiri Majelis Taklim Ar-Raudhah Sekumpul.
2. K.H. Prof. Dr. Ahmad Sjarwani Zuhri, Pimpinan dan
Pengasuh Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Balikpapan.
3. K.H. Muhammad Syukri Unus, Pimpinan Majelis Taklim
Sabilal Anwar al-Mubarak, Martapura.
4. K.H. Zaini Tarsyid, Pengasuh Majelis Taklim Salafus
Shaleh Tunggul Irang Seberang, Martapura (selain sebagai murid, K.H. Zaini
Tarsyid juga merupakan anak menantu Guru Bangil).
5. K.H. Ibrahim bin K.H. Muhammad Aini (Guru Ayan), Rantau.
6. K.H. Ahmad Bakri (Guru Bakri), Pengasuh Pondok Pesantren
Al-Mursyidul Amin, Gambut.
7. K.H. Asmuni (Guru Danau), Pengasuh Pondok Pesantren Darul
Aman, Danau Panggang, Amuntai.
8. K.H. Sayfi’i Luqman, Tulungagung (Jawa Timur).
9. K.H. Abrar Dahlan, Pimpinan Pondok Pesantren di Sampit,
Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
10. K.H. Muhammad Safwan Zahri, Pimpinan Pondok Pesantren
Sabilut Taqwa, Handil 6, Muara Jawa, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Waktu beliau banyak dihabiskan untuk mengajar, muthala’ah,
dan ibadah. Sewaktu berdiam di Martapura, sekembali dari Kota Mekkah
al-Mukarramah, Guru Bangil pernah ditawari untuk menduduki jabatan Qadhi di
Martapura, namun jabatan tersebut beliau tolak. Beliau lebih senang berkhidmat
secara mandiri dalam dunia pendidikan, dakwah, dan syiar Islam, di mana,
muthala’ah, halaqah dakwah, ta’lim (mengajar), dan menulis (menghimpun) risalah
menjadi aktivitas rutin beliau sehari-hari.
Dalam mengajar Guru Bangil biasanya tidak panjang lebar
menjabarkan dan menjelaskan suatu permasalahan, beliau hanya menyampaikan apa
yang ada dalam kitab dan telah dibahas secara panjang lebar oleh ulama penulis
kitab. Sehingga, ketika ada yang bertanya atau mengajukan suatu permasalahan,
beliau menjawabnya tidak dengan pendapatnya sendiri, tetapi beliau tunjukkan
dan mengutip dari pendapat para ulama dengan menyebutkan kitab-kitabnya.
Guru Bangil juga aktif menulis berbagai risalah agama berupa
pelajaran dan pedoman praktis dalam memantapkan keyakinan dan amaliah beragama
masyarakat. Satu di antara risalah beliau yang sangat terkenal, dicetak, dan
beredar secara luas di tengah-tengah masyarakat adalah buku yang berjudul
Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah. Risalah ini berisi pembahasan
tentang masalah talqin, tahlil, dan tawassul.
Guru Bangil tidak mau karya tulis beliau diperjual-belikan,
itulah sebabnya beberapa risalah yang beliau himpun hanya ditulis dan beredar
secara terbatas, karena tidak dicetak. Buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli
al-Istiqamah yang tersebar secara luas itupun beliau izinkan untuk dicetak atas
amal jariyah seorang donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada
masyarakat.
Menurut santri-santrinya, Guru Bangil adalah sosok seorang
guru yang bisa memahami dengan baik kemampuan, karakter dan bakat
santri-santrinya. Sehingga mereka merasa dididik sesuai dengan kemampuan mereka
masing-masing.
Di samping menguasai ilmu pengetahuan agama yang dalam, Guru
Bangil juga mempunyai keahlian ilmu bela diri (silat). Keahlian dalam ilmu bela
diri ini juga Beliau ajarkan kepada santri-santrinya sebagai bekal bagi mereka
untuk berdakwah melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Salah seorang santri beliau
yang mewarisi dengan baik ilmu bela diri ini adalah (alm.) Guru Masdar
Balikpapan.[28]
Sebagai seorang ulama, beliau mampu memberikan solusi dan
sekaligus memecahkan masalah di masyarakat beliau. Hal ini terbukti ketika
masyarakat hendak memperluas bangunan masjid di Kota Bangil yang tidak
mencukupi lagi untuk menampung jamaah. Sementara, ada kendala atau permasalahan
yang membuat ulama-ulama dan tokoh masyarakat Bangil pada waktu itu bingung
mencari solusinya, karena areal tanah yang hendak dijadikan perluasan masjid
terdapat kuburan. Maka, masyarakat pun akhirnya mereka meminta pendapat dan
pemikiran Guru Bangil berkenaan dengan masalah tersebut, apakah masjid bisa
diperluas walaupun di atas tanah bekas kuburan atau bagaimana? Dengan
berpedoman kepada pendapat para ulama terdahulu Guru Bangil membolehkan.
Sehingga, berdasarkan pendapat Guru Bangil, masalah tersebut akhirnya dapat
terpecahkan, sehingga perluasan pembangunan masjid Bangil pun dapat
diteruskan.[29]
Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang
ulama yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah,
tetapi semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak
meninggalkan harta kepada anak cucu beliau. Beliau sangat hati-hati dalam
hal-hal keduniawian.[30]
Guru Bangil tidak mau ikut-ikutan atau terjun ke dunia
politik. Itulah sebabnya beliau mau masuk dan menjadi anggota partai politik
walaupun banyak yang mengajak. Guru Bangil pernah menjadi salah seorang
Muhtasyar Nahdlatul Ulama (NU) Kota Bangil, namun ketika NU telah menegaskan
arah dan tujuan organisasinya untuk khittah (kembali) ke dasar organisasi
ketika organisasi ini didirikan (pada tahun 1926) dan tidak lagi sebagai partai
politik.[31]
Menurut Ustadz Subki, Guru Bangil alim dan menguasai secara
mendalam 14 cabang ilmu (fan) dari ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu yang beliau
kuasai tersebut terutama bidang fikih, hadits, ilmu hadits, ulumul Qur’an,
tafsir, dan tasawuf.[32]
Dalam usia muda (di bawah 40 tahun) Guru Bangil banyak
menggeluti ilmu fikih, tetapi pada usia 40 tahun ke atas beliau banyak bergelut
di bidang tasawuf. Tasawuf yang banyak beliau pelajari adalah tasawuf
Al-Ghazali.[33]
Dalam bidang hadits, beliau sangat hati-hati dalam
menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan
hadits tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan suatu hadits, beliau sangat
hati-hati dan penuh adab. Beliau tidak setuju kalau pidato di lapangan terbuka
dengan membacakan atau menggunakan ayat Alquran maupun hadits, padahal tidak
tepat dengan konteksnya.[34]
Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman
Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh Tuan Guru H. Anang Sya’rani Arif.
Sehingga, ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H.
Anang Sya’rani Arif, beliau menyuruh orang tersebut untuk menanyakannya
langsung kepada Guru Bangil. Guru Bangil pernah memperdalam fikih dengan Syekh
Ahyat al-Bogori.[35]
Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan
Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis
Guru Bangil yang paling populer, karena pembahasan yang ada di dalamnya. Buku
ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 dan telah dicetak serta
diterbitkan secara berulang kali oleh penerbit. Buku ini tersebar luas di
tengah-tengah masyarakat Islam diberbagai daerah dan dicetak atas biaya dari
para donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada masyarakat luas. Karena,
Guru Bangil tidak mau karya beliau ini diperjual belikan. Buku ini juga pernah
berhenti dicetak karena ada oknum yang memperjualbelikannya untuk mengambil
keuntungan pribadi.
Buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli
al-Istiqamah ini ditulis oleh Guru Bangil atas permintaan masyarakat Bangil
karena adanya pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh muda pemikir agama yang
kontradiktif dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu itu, dan sering
menganggap mudah (remeh) urusan agama, sehingga menimbulkan pertanyaan dan
perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Hal ini terlihat di dalam tulisan
beliau yang tertera di bagian penutup buku tersebut.
“Akhirnya tidak lupa penulis menasehatkan di sini agar
angkatan-angkatan muda dari kalangan umat Islam di Indonesia ini dalam rangka
menilai suatu perkara agama itu, jangan anggap mudah atau dipermudah, tapi
hendaknya di-tanyakan langsung kepada yang betul-betul mengetahui tentang
urusan agama jika sekiranya saudara tidak mengetahui. Dan selanjutnya penulis
mengharapkan jangan sampai ada atau menimbulkan hina menghina sehingga membawa
akibat yang tidak diinginkan”[36].
Menurut Guru Bangil sangat disayangkan apabila ada sementara
orang dari kalangan umat Islam sendiri di dalam rangka menilai sesuatu perkara
agama dengan mudah dan gegabah mengambil kesimpulan untuk mengharamkan atau
menghalalkan tentang sesuatu perkara tanpa ditinjau secara teliti dan
menyeluruh tentang hakikat dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Sebagai contoh
misalnya tentang pembacaan talqin dan doa untuk mayit serta tawassul. Menurut
beliau, buku ini ditulis sekadar untuk menangkis serangan yang dilancarkan
tokoh-tokoh muda pemikir agama yang secara sembrono memberikan fatwa-fatwa
seolah-olah para alim ulama kita yang terdahulu telah memberikan jalan yang
sesat kepada kita.[37] Tulisan ini sama sekali bukanlah hasil dari penafsiran
penulis sendiri tetapi hasil dari pemikiran ulama-ulama besar kita yang telah
mengambil dasar-dasar menurut rel yang sebenarnya sesuai dengan ajaran Islam.
Adapun yang dibahas dalam buku ini adalah tentang masalah
talqin, bacaan dan doa untuk mayit serta pembahasan tentang tawassul.
1. Talqin
Ada sementara pihak yang menyatakan bahwa pembacaan talqin
itu adalah bid’ah dhalalah.[38] Dalam menjawab masalah ini Guru Bangil di dalam
buku ini menjelaskan bahwa ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Tabrani dari Abu Umamah sampai kepada Nabi Muhammad Saw bahwa Abu Umamah telah
berkata:
“Apabila aku meninggal dunia, perbuatlah diriku sebagaimana
Rasulullah telah memerintahkan kepada kami, agar kami mengerjakan terhadap
orang-orang yang meninggal dunia di antara kami. Telah memerintahkan Rasulullah
kepada kami, beliau bersabda: ”Apabila meninggal dunia salah seorang dari
saudara-saudaramu, maka setelah kau ratakan dengan tanah di atas kuburnya, maka
hendaklah salah seorang di antara kamu berdiri di atas kepala kuburnya, kemudian
katakanlah: Ya fulan bin fulan hingga akhirnya”.
Menurut beliau, hadits tersebut memang dinyatakan sebagai
hadits yang dha’if (lemah) karena di antara perawinya ada yang kurang dhabit,
karena itu tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Akan tetapi karena ada yang
menguatkannya (syahid), maka ia dapat dijadikan hujjah. Adapun atsar yang
menguatkan (syahid) hadits tersebut antara lain, yaitu:
“Dari Rasyid bin Sa’din dan Dhamrah bin Habib dan hakim bin
Umir, telah berkata mereka: apabila sudah diratakan tanah atas kubur mayit, dan
berpalinglah (pulang sebagaian manusia daripadanya. Adalah mereka itu
(sahabat-sahabatnya) suka, bahwa dikatakan bagi si mayit di sisi kuburnya, ya
Fulan, katakanlah: Laa ilaaha illallah, Asyhadu alla ilaha illallah,
Rabbiyallah wa diinil Islam wa nabiyii Muhammad Saw. Kemudian dia berpaling
(pulang)”. (diriwayatkan oleh Said bin Mansur).
Ketiga orang tersebut (Rasyid bin Sa’din, Dhamrah bin Habib
dan Hakim bin Umair adalah para tabi’in). Perkataan seperti tersebut di atas
tidak ada jalan untuk diijtihadi. Jadi hukum perkataan tabi’in tersebut adalah
langsung dari Nabi Saw seperti tertera dalam kaidah.
Syahid-syahid yang lain yang menguatkan hadits tersebut
adalah yang diriwayatkan dari Amr bin Ash pada hadits yang panjang, di dalam
hadits itu terdapat perkataan:
“Maka jika kamu selesai menanam aku dan menimbun tanah
kuburku, kemudian berdiamlah kamu di samping kuburku sekadar selama waktu
disembelih onta dan dibagi-bagikan dagingnya[39], sehingga aku mendapat
kesenangan dengan kamu dan supaya aku mengetahui bagaimana menjawab utusan
Tuhanku”. (Riwayat Muslim dalam Kitab Shahih Muslim).
Ada lagi hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan jalan
yang Shahih:
“Adalah Nabi saw apabila selesai menanam mayit, maka berdiam
atasnya, lalu beliau bersabda: Mintakan ampun bagi saudaramu sekalian dan
mohonkan kepada Allah akan ketabahan hati baginya karena ia sekarang akan
ditanya”.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud,
telah pula memperkuat isi hadits mengenai talqin tersebut. Meskipun dalam
hadits ini dimaksudkan adalah doa, akan tetapi dengan isyaratnya menunjukkan
dan menyuruh agar kita mengerjakan sesuatu yang menjadikan ketabahan bagi si
mayit karena pada waktu itu kehadiran kita betul-betul diperlukan.
Di dalam kitab Ruh, Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah berkata
bahwa hadits talqin itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah
untuk dikerjakan. Bagi kita tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu
perkataan yang menjadi-kan manfaat bagi si mayit. Hal ini didukung pula oleh
Imam An-Nawawi di dalam Syarah Muhadzab.
Menurut Guru Bangil, talqin itu pada hakikatnya bukanlah
dimaksudkan memberi pelajaran pada orang-orang yang sudah mati, melainkan
sekadar memberi ketenangan atau ketabahan di dalam kubur,[40] seperti tersebut
di dalam Alquran surah al-Dzariyat ayat 55:
Artinya: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya
peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”.
Dengan mengutip pendapat beberapa ulama yang menguraikan dan
menjelaskan masalah talqin, maka menurut Guru Bangil, talqin diperbolehkan dan
bukanlah perbuatan bid’ah, karena memiliki dalil yang kuat.
Senada dengan penjelasan dan uraian Guru Bangil dalam buku
Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah ini, penjelasan yang panjang
lebar, dilengkapi dengan tanya-jawab, dan disertai pula dengan dalil-dalil yang
membolehkan serta menguatkan masalah talqin, bisa dibaca dalam buku 40 Masalah
Agama, karangan K.H. Siradjuddin Abbas.[41]
2. Bacaan dan Doa untuk Mayit
Masalah bacaan dan doa untuk mayit dibahas dalam tulisan
beliau ini sebenarnya berpangkal pada pertanyaan: Apakah orang yang meninggal
dunia mendapat manfaat dari amal orang yang masih hidup? Ada sementara pendapat
yang menyatakan bahwa manfaat tersebut tidak akan diperoleh lagi oleh orang
yang meninggal dunia dengan berbagai macam alasan. Dalam uraian ini Guru Bangil
menunjukkan hal-hal yang justru sebaliknya.
Pertama-tama Guru Bangil mengemukakan sebuah hadits dari Abu
Utsman: “Bacalah surah Yasin atas orang yang meninggal dunia di antara kamu”
Menurut Beliau kedudukan hadits tersebut dhaif karena di
antara perawinya ada yang kurang kuat. Tetapi ada yang menguatkan hadits
tersebut, di antaranya:
Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Syuabil Iman, dari
Ma’qil bin Yasar, bahwasanya Nabi Saw bersabda: “Barang siapa membaca Yasin
karena menuntut pahala atau ganjaran kepada Allah, niscaya diampuni dosanya
yang telah lalu. Maka bacakanlah Yasin disisi orang yang meninggal dunia
diantara kamu”.
Di dalam hadits-hadits lain juga disebutkan tentang bacaan
ayat-ayat Alquran di atas kubur, yaitu:
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda:
“Barang siapa masuk halaman kuburan dan membaca Fatihah, Qul huwallahu ahad dan
Alhakumut Takatsur, kemudian ia berkata sesungguhnya aku jadikan pahala yang
kubaca dari kalam Engkau bagi ahli kubu dari kaum mu’minin dan mu’minat, maka
niscaya mereka itu memintakan syafa’at kepada Allah baginya” (Dikeluarkan oleh
Zanjani di dalam kitab Fawaid).
Dari Aisyah ra: Telah bersabda Rasulullah Saw: “Telah datang
kepadaku Jibril, ia berkata sesungguhnya Tuhanmu memerintahkanmu datang ke
kuburan Baqi supaya kamu memintakan ampun bagi mereka. lalu berkata Aisyah ra,
“Bagaimana saya berkata untuk mereka ya Rasulallah? Rasulullah bersabda:
“Sebutlah: Assalamu ahla al-diyar. Dalam riwayat lain Assalamu alaikum ahla
al-diyar minal mu-minin wa al-Muslimat wa inna insya Allah lalahikun asalullaha
lana wa lakum al-afiyah”. (Riwayat Imam Muslim).
Dalam membahas masalah ini, Guru Bangil juga menambahkan
beberapa keterangan yang dikemukakan oleh ulama muhadditsin dan fuqaha, di
antaranya: Diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia berkata: “Apabila
engkau masuk halaman kuburan maka bacalah ayat Kursi dan 3 kali surah
al-Ikhlas. Kemudian ucapkanlah bahwa pahalanya bagi ahli kubur”. Demikian juga
dari ulama yang lain seperti, Imam Syaukani, Imam Za’farani, Imam Ramli, Syekh
Muhammad Faleh, Imam al-Suyuti dan lain-lain yang menguatkan masalah bacaan dan
doa untuk mayit ini.
Mengenai masalah sedekah untuk si mayit, baik dalam bentuk
makanan maupun amal kebaikan tidak dilarang oleh syariat Islam. Hal ini sudah
ada sejak masa sahabat. Ini dikuatkan pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Daud dari Ashim bin Kulaib yang menceritakan tentang Nabi Saw makan bersama
sahabat-sahabatnya di rumah seorang wanita yang kematian suaminya. Kemudian, di
dalam hadits-hadits lain dinyatakan bahwa sedekah untuk orang yang sudah
meninggal dunia itu sampai kepadanya. Jadi, dengan demikian menurut Guru Bangil
selamatan yang dikerjakan untuk si mayit itu dibolehkan dan sunnat hukumnya.
Bahkan di dalam fatwa-fatwa mereka, ulama membolehkan seseorang yang akan
meninggal dunia untuk berwasiat menyuruh ahlinya agar bersedekah untuknya
setelah ia meninggal dunia.[42]
3. Tawassul
Tawassul adalah minta sesuatu kepada Allah Swt disertai
dengan ucapan: dengan berkat fulan, dengan kebesaran fulan, dengan sesuatu
amal, dengan sesuatu ayat, atau dengan berkat shalawat dan lain-lain.
Guru Bangil berpendapat bahwa cara-cara yang demikian itu
tidak ada larangan dalam agama Islam, karena menurut beliau setiap Muslim tetap
berkeyakinan dan percaya bahwa semuanya itu, apa saja hanyalah merupakan sebab
belaka dan tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, sedang yang berkuasa serta yang
mengabulkan sesuatu hajat itu adalah Allah Swt, tidak ada yang lain kecuali
Dia.
Adapun dalil yang dipakai beliau sebagaimana pendapat ulama
yang membolehkan tawassul, antara lain:
Hadits yang menunjukkan tentang bertawassul dengan orang
yang hidup. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dalam kitabnya
al-Mu’jam al-Kabir wa al-Ausath, juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan
Imam al-Hakim, dan mereka mensahkan hadits ini. Dari sahabat Annas bin Malik,
ia berkata: “Ketika Fatimah binti As’ad ra (ibunda Saidina Ali) meninggal
dunia, ia pernah memelihara Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw bersabda: “Ampuni Ya
Allah, ibuku Fatimah binti As’ad, dan luaskan atasnya tempat masuknya
(kuburnya) dengan haq Nabi Engkau dan Nabi-nabi sebelum aku”.
Dalil tawassul yang terdapat sesudah Nabi wafat, tawassul
kepada Nabi dan selain dari Nabi. Di dalam kitab Fath al-Bari disebutkan sebuah
hadits:
“Telah meriwayatkan Ibnu Abdurrazak, dari hadits Ibn Abbas,
bahwasanya Sayyidina Umar minta hujan di mushalla, maka Sayyidina Umar berkata
pada Sayyidina Abbas: Bangunlah dan mintakan Hujan. Di antara do’a Sayyidina
Abbas …… telah menghadap kaum dengan aku kepada Engkau dikarenakan hubunganku
dengan nabi-Mu”.
Umar bin Khattab berkata pula: “Ya Allah bahwasanya kami
telah tawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, maka Engkau turunkan hujan, dan
sekarang kami tawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah
hujan itu.” (Hadits ini dirawikan oleh Imam Bukhari dan Baihaqi. Lihat Shahih
Bukhari, Jilid I, h.128 dan Baihaqi, Sunan al-Kubra, Jilid II, h.352).
Adapun mengenai tawassul dengan Nabi ketika beliau sudah
wafat, Guru Bangil memberikan contoh perkataan Sayyidina Abu Bakar: “Dengan
ayah dan ibuku adalah tebusan engkau hai Muhammad, hidup dan matimu adalah
baik. Hai Muhammad, sebutlah kami di sisi Tuhanmu” (diriwayatkan oleh Imam
Abiddunia di dalam kitab Addharra).
Dalil-dalil tawassul lainnya yang dikemukakan Guru Bangil
yang menujukkan bahwa tabi’in, tabi’it tabi’in, imam-imam dan para ulama
berwasilah juga, yaitu:
a. Bahwa waktu berkunjung ke Baghdad, Imam Syafi’i berziarah
dan mendatangi kubur Imam Abu Hanifah serta bertawassul kepadanya.
b. Tatkala Imam Syafi’i mendengar Ahli Maghribi yang
bertawassul dengan Imam Malik, beliau tidak melarang bahkan beliau pun
bertawassul dengan ahl al-bait.
c. Imam Ahmad bin Hanbal bertawassul dengan Imam Syafi’i.
d. Imam Al-Ghazali pun bertawassul dengan nabi-nabi dan
keluarganya, dan dengan fadhilah amal-amal, sebagaimana tersebut di dalam kitab
Qashidah Munfarijah.
e. Ulama-ulama besar lainnya pun bertawassul, sebagaimana
disebutkan di dalam banyak kitab.
Dengan dalil-dalil tersebut yang meliputi
perbuatan-perbuatan Nabi, sahabat dan ulama-ulama cukuplah kiranya bagi umat
Islam menurut Guru Bangil untuk tidak meragukan dan tidak pula mengingkari akan
bolehnya bertawassul dengan nabi-nabi, wali-wali dan para shalihin (orang-orang
shaleh).[43]
Berbagai hal yang telah dijelaskan dan diuraikan oleh Guru
Bangil berkenaan dengan tawassul dalam buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli
al-Istiqamah ini, tidak jauh berbeda dengan penjelasan yang diuraikan dalam
buku 40 Masalah Agama, karangan K.H. Siradjuddin Abbas.[44] Di mana dalam buku
40 Masalah Agama tersebut, masalah tawassul dalam mendoa dikemukakan secara
panjang lebar, dilengkapi dengan tanya-jawab, dan disertai pula dengan
dalil-dalil yang menyatakan tatacara dan kebolehan seseorang untuk berdoa
dengan cara bertawassul.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani
Abdan yang dikenal luas oleh masyarakat Banjar dan Bangil khususnya sebagai
seorang ulama yang memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental
spiritual umat melalui keilmuan dan kiprah keagamaan selama beliau hidup.
Aktivitas beliau yang tidak jauh dari rutinitas ibadah, muthala’ah, halaqah,
dakwah, ta’lim, dan menulis risalah bimbingan keagamaan untuk masyarakat serta
mendirikan Pondok Pesantren Datuk Kalampayan di Bangil memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap kegiatan amal ibadahn dan keagamaan masyarakat.
Berkenaan dengan hadits, beliau sangat hati-hati dalam
menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan
hadits tersebut. Begitu juga dalam menyampaikan hadits, beliau sangat hati-hati
dan penuh adab. Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman
Beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh ‘Alimul ;Allamah Tuan Guru H. Anang
Sya’rani Arif. Ketika ada orang yang bertanya masalah fikih kepada Tuan Guru H.
Anang Sya’rani Arif, maka beliau menyuruh orang itu untuk menanyakannya kepada
Guru Bangil. Dalam masalah kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama
yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi
semua itu ditolak beliau. Sampai meninggal dunia beliau tidak mewariskan harta
kepada anak cucu beliau.
Al- Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah (Simpanan
Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) adalah salah satu karya tulis
Guru Bangil yang paling populer. Buku ini ditulis beliau atas permintaan
masyarakat Bangil karena adanya pernyataan-pernyataan para pemikir muda yang
kontradiktif (berlawanan) dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu.
Menurut beliau, talqin, bacaan, doa dan sedekah untuk mayit serta tawassul
diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam asalkan sesuai dengan
kaedah yang dicontohkan oleh ulama.
RUJUKAN
Buku
Abbas, Siradjuddin, 40 Masalah Agama, Jilid I – IV, Pustaka
Tarbiyah, Jakarta, 2000.
Abdullah bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus
Arab-Indonesia-Inggeris, CV. Mutiara, Jakarta, 1969.
Abdul Syukur, “Peran Pondok Pesantren di Kota Serambi
Mekah”, dalam Setia Budhi, dkk, Mendampingi Aspirasi Masyarakat Kota Serambi
Mekkah Martapura Darussalam, CRDS, Banjarmasin, 2000.
Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan
Haji Besar, Yayasan Pendidikan Islam Dalam Pagar (YAPIDA), Martapura, 2003.
Abu Nazla Muhammad Muslim Safwan, 100 Tokoh Kalimantan 1,
Toko Buku Sahabat, Kandangan, 2007.
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam: Pesan untuk Para
Intelektual Muslim, Mizan, Bandung, 1993.
Al-Marbawi, Idris Abdur Rauf, Kamus Idris Al-Marbawi,
Musthafa al-Babil Halabi, Mesir, 1350 H.
Al-Maududi, Abu al-A’la, Tajdid ad-Din wa Ihyaihi, terj.
Ahmadie Thaha dan Saiful Islam Farenduani, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1984.
As-Sayuthi, Jalaluddin, Jami’ush Shagir, Darul Kutubi
al-Halabi, Kairo, 1967.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Jakarta, 1982.
Djalinus Syah (et.al.), Kamus Pelajar Kata Serapan Bahasa
Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
Hughes, Thomas Patrich, Dictionary of Islam, Oriental
Reprint, New Delhi-India, 1976.
Kafrawi Hamzah, Ulama dan Tanggung Jawabnya, CV. Pedoman
Ilmu Jaya, Jakarta, 1994.
Kasyful Anwar, Manaqib ‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H.
Muhammad Sjarwani Abdan, tidak diterbitkan.
Louis Ma’luf, Al-Munjid fil Lughah, Darul Masyriq, Beirut,
1977.
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah dan Pentafsir Al-Quran, Jakarta, 1973.
Masdari dan Zulfa Jamalie (ed.), Khazanah Intelektual Islam
Ulama Banjar, Pusat Pengkajian Islam Kalimantan (PPIK) IAIN Antasari,
Banjarmasin, 2003.
Moenawar Cholil, Fungsi Ulama dalam Masjarakat dan Negara,
NV. Bulan Bintang, Jakarta, 1957.
Muhammad Abdul Mujieb AS, Ciri-ciri Ulama Dunia dan Akhirat,
Mahkota, Surabaya, 1986.
Muhammad Hatim Salman, “Masyarakat Islam: Perubahan dan
Kesempatan”, dalam Setia Budhi, dkk, Mendampingi Aspirasi Masyarakat Kota
Serambi Mekkah Martapura Darussalam, CRDS, Banjarmasin, 2000.
Muhammad Ihsan Dahlan, Sirajut Thalibin, Jilid I, tanpa
penerbit.
Muhammad Sjarwani Abdan, Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli
al-Istiqamah: Simpanan Berharga Masalah Talqin-Tahlil-Tawassul, cetakan ke-4,
PP. Datuk Kalampayan, Bangil, 2003.
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya
Manusia, Lantabora Press, Jakarta, 2004.
Nasution, Harun, (eds.), Ensiklopedi Islam, Jilid 3,
(Jakarta: Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama, 1992/1993), h.1250.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indoensia, PN.
Balai Pustaka, Jakarta, 2003.
Rosyad Shaleh, A., Management Da’wah Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1977.
Sayyid Quthub, Fi Dzilalil Qur’an, Jilid VI, Musthafa
al-Babil Halabi wa Auladuhu, Mesir, 1973.
Setia Budhi, dkk, Mendampingi Aspirasi Masyarakat Kota
Serambi Mekkah Martapura Darussalam, CRDS, Banjarmasin, 2000.
Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi, PT. Bina Ilmu,
Surabaya, 1983.
Zafri Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Ulama Besar
Juru Dakwah, Percetakan Karya, Banjarmasin, t.th.
Zaidan, Abdul Karim, Ushulud Da’wah, terj. M. Asywadie
Syukur, Media Da’wah, Jakarta, 1980.
Zulfa Jamalie, dkk, (ed.), Biografi dan Pemikiran Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari: Matahari Islam Kalimantan, Pusat Pengkajian Islam
Kalimantan (PPIK) IAIN Antasari, Banjarmasin, 2005.
Zulfa Jamalie, Perjuangan Tokoh Membumikan Islam di Tanah
Banjar, Ceprus, Banjarmasin, 2005.
———, Generasi Emas: Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan
Keturunannya, Lembaga Kajian Islam, Sejarah, dan Budaya Banjar, Banjarmasin,
2007.
Internet
http://www.banjarkab.go.id/ “Ribuan Jamaah Padati Haul Guru
Bangil”.
Diakses pada, Sabtu, 2 Februari 2008.
http://www.indomedia.com/bpost/032006/22/kalsel/lbm3.htm
“Haul ke-17 Guru Bangil: Cinta Allah dan Rasul sejak Remaja
(1)”
Diakses pada, Sabtu, 2 Februari 2008.
http://www.indomedia.com/bpost/032006/22/kalsel/lbm3.htm
“Haul ke-17 Guru Bangil : Hindari Godaan Dunia untuk Akhirat
(2)”
Diakses pada, Sabtu, 2 Februari 2008.
http://www.banjarkab.go.id/ “Haul Tuan Guru H.M. Sjarwani
Abdan (Guru Bangil) yang ke-18”.
Diakses pada, Senin, 22 April 2008.
http://www.banjarkab.go.id/ “Haul ke-19 Guru Bangil
Diperingati”.
Diakses pada, Senin, 22 April 2008.
http://www.indomedia.com/bpost/072007/20/opini/opini2.htm
“Tradisi Haul dan Kohesi Sosial”
Diakses pada, Sabtu, 2 Februari 2008.
Jurnal dan Majalah
A Athaillah, “Perkembangan Tarekat Sammaniyah di Kalimantan
Selatan”, Jurnal Khazanah, Volume III, Nomor 2, Maret-April 2004, IAIN Antasari
Banjarmasin.
Mugeni Hasar, “Pemikiran Tasawuf Syekh Abdurrahman Siddiq:
Telaah Atas Kitab Amal Ma’rifah”, Jurnal Khazanah, Volume III, Nomor 2,
Maret-April 2004, IAIN Antasari Banjarmasin.
“Tuan Guru H. Sjarwani Abdan: Menebar Ilmu di Perantauan”,
Koran Mingguan Ishlah, No. II/Tahun II/Maret 2007, diterbitkan oleh Yayasan
Sultan Adam Martapura.
“Kedudukan Ulama Menurut Imam Ali bin Abi Thalib”, Majalah
Cahaya Sufi, edisi Mei 2007.
Zulfa Jamalie, “Melacak Jejak Pembawa Tarekat Sammaniyah di
Tanah Banjar”, Jurnal Khazanah, Volume II, No. 5, September-Oktober 2003, IAIN
Antasari Banjarmasin.
[1]Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam: Pesan untuk
Para Intelektual Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), h.25.
[2]“Kedudukan Ulama Menurut Imam Ali bin Abi Thalib”,
Majalah Cahaya Sufi, edisi Mei 2007, h.48-52.
[3]Qadhi H. Abu Su’ud adalah anak Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari dan Tuan Bidur yang merupakan moyang dari Tuan Guru H. Husin Kedah
bin H. Muhammad Thayyib, seorang ulama besar yang disegani dan dihormati oleh
masyarakat Melayu (Kedah-Malaysia). Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari: Tuan Haji Besar, (Dalam Pagar Martapura: Sekretariat Madrasah
Sullamul Ulum, 1996), h.115-116.
[4]Ibid., h.118.
[5]Menurut K.H. Abdul Syukur ada beberapa indikasi sehingga
Kota Martapura disebut sebagai Kota Serambi Mekkah, yakni: kehidupan
masyarakatnya yang agamis, peran para ulama dalam mengembangkan ilmu, banyaknya
madrasah dan pondok pesantren, banyaknya pengajian dan majelis taklim,
masyarakatnya yang gemar ibadah-ibadah sunah, tokoh-tokoh panutan masyarakat
yang berasal dari kalangan ulama d`n guru-guru agama, tingginya kecenderungan
masyarakat terhadap pendidikan Islam. Lihat dalam Setia Budhi dkk, Mendampingi
Aspirasi Masyarakat Kota Serambi Mdkkah Martapura Darussalam, (Banjarmasin:
CRDS, 2000), h.34. K.H. Hatim Salman menambahkan, bahwa Martapura disebut
sebagai Kota Serambi Mekkah karena merupakan kota bersejarah penerapan syariat
Iqlam di masa Kerajaan Banjar ketika diberlakukannya Undang-Undang Sultan Adam
(UUSA)”, lihat dalam Setia Budhi dkk, Ibid., h.45. Ada pula yang menyebut
Martapura sebagai “Kota Santri” dan “Bumi Ulama”, sebab di kota ini banyak
melahirkan ulama-ulama besar dan pusat pengkajian ilmu (pondok pesantren
ataupun kaji duduk) dari dulu hingga sekarang. lihat Zulfa Jamalie, Generasi
Emas: Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Keturunannya, (Banjarmasin: Lembaga
Kajian Islam, Sejarah, dan Budaya Banjar, 2007), h.63.
[6]Ada perbedaan pendapat berkenaan dengan riwayat
pendidikan Guru Bangil di sini, karena, berdasarkan data yang diakses dari
website Kabupaten Banjar (http://www.banjarkab.go.id/) dinyatakan bahwa Guru
Bangil pernah masuk dan belajar di Pondok Pesantren Darussalam Martapura.
Sedangkan menurut informasi Guru H. Ahmad Barmawi (Martapura) yang merupakan
murid Guru Bangil angkatan pertama, menyatakan bahwa Guru Bangil tidak pernah
masuk dan belajar di Pondok Pesantren Darussalam Martapura, beliau hanya kaji
duduk dengan sejumlah ulama atau Tuan Guru yang sebagiannya mengajar di Pondok
Pesantren Darussalam Martapura, salah seorang di antara guru beliau dan sangat
dikenal adalah Tuan Guru H. Kasyful Anwar bin H. Ismail. Tuan Guru H. Kasyful
Anwar sendiri adalah paman dari Guru Bangil dan merupakan pimpinan Pondok
Pesantren Darussalam Martapura Periode III (1922-1940).
[7]Wawancara dan keterangan Ustadz H. Ahmad Mulkani, Kampung
Melayu Banjarmasin (salah seorang murid Guru Bangil). Menurut Ustadz H.
Mulkani, informasi ini beliau dapat dari salah seorang anak Guru Mukhtar
Khatib.
[8]’Alimul ‘Allamah H. Anang Sya’rani Arif juga seorang
ulama besar Martapura dan ahli dalam ilmu hadits dan tafsir. Beliau terkenal
dan menyandang gelar sebagai muhaddits, yakni seorang yang ahli dan hapal
beribu-ribu matan hadits lengkap dengan sanadnya. Beliau juga pembaharu dan
pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Martapura periode V (1959-1969).
[9]Abu Daudi, op. cit., h.118.
[10]http://www.banjarkab.go.id/.
[11]Abu Nazla Muhammad Muslim Safwan, 100 Tokoh Kalimantan
1, (Kandangan: Toko Buku Sahabat, 2007), h.223.
[12]Sanad ijazah tarekat Sammaniyah yang diterima oleh Guru
Bangil bersumber dari Syekh Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari, yang
menerimanya dari Syekh Zainuddin al-Sumbawi, yang menerimanya dari Syekh
Muhammad Nawawi al-Bantani, yang menerimanya dari Syekh Syihabuddin, yang menerima
dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang langsung menerimanya dari Syekh
Muhammad Samman al-Madani. Guru Bangil kemudian mengajarkannya kepada Guru
Sekumpul. Lihat A Athaillah, “Perkembangan Tarekat Sammaniyah di Kalimantan
Selatan”, Jurnal Khazanah, Volume III, Nomor 2, Maret-April 2004, IAIN Antasari
Banjarmasin, h.228.
[13]wawancara dengan Ustadz Subki, (Tunggul Irang,
Martapura), tanggal 9 Oktober 2008
[14]Menurut keterangan Ustadz Subki, Guru Bangil menerima
ijazah tarekat Naqsabandiyah dari Syekh Sayid Muhammad Amin Kutbi, wawancara
pada tanggal 9 Oktober 2008.
[15]Abu Daudi, op. cit., h.118 dan 120.
[16]Guru Sekumpul (7 Muharram 1361 H/11 Februari 1942 M ― 5
Rajab 1428 H/10 Agustus 2005 M) adalah sosok ulama kharismatik dan mumpuni,
yang keharuman nama dan keilmuannya tidak hanya dikenal di Kalimantan,
Indonesia, akan tetapi sampai ke negara jiran, seperti Malaysia, Singapura, dan
Brunei Darussalam. Guru Sekumpul merupakan generasi penerus Guru Bangil, yang
semasa hidupnya juga dikenal sebagai seorang ulama yang menghimpun antara
syariat, tarekat, dan hakikat, dan satu-satunya ulama yang mendapat izin untuk
mengijazahkan tarekat Sammaniyah.
[17]Kasyful Anwar, Manaqib Guru Bangil, t.p., h.1.
[18]Abu Nazla Muhammad Muslim Safwan, op. cit., h.223.
[19]Kasyful Anwar, op. cit., h.1.
[20]Wawancara dengan Guru H. Ahmad Barmawi (Batuah,
Martapura) pada tanggal 13 Juli 2008.
[21]Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari:
Tuan Haji Besar, cetakan baru, (Martapura: Yayasan Pendidikan Islam Dalam
Pagar, 2003), h.175.
[22]Wawancara dengan Ustadz Subki, pada tanggal 9 Oktober
2008
[23]Wawancara dengan Ustadz H. Ahmad Mulkani, pada tanggal 9
September 2008.
[24]Haul atau bahaul menurut Alfisyah (2007) merupakan
tradisi keagamaan yang sering dikaitan dengan kebiasaan Islam tradisional.
Upacara ini merupakan ritual tahunan untuk memperingati wafatnya seseorang yang
dianggap memiliki kekhususan, yakni para ulama. Karena itu, sebagai sebuah
tradisi keagamaan haul memiliki banyak makna penting. Pertama, haul menjadi
support emosional, hiburan, dan rekonsiliasi untuk mengatasi masalah
ketidakpastian, kekecewaan bahkan keterpencilan dari tujuan dan norma sosial
yang dihadapi masyarakat. Kedua, lewat doa dan zikir yang diliputi suasana
sakral, ritual bahaul memberikan hubungan transendental sehingga menyediakan
rasa aman dan identitas yang kokoh bagi manusia. Ia juga memberikan pengalaman
keagamaan yang mungkin saja mulai terkikis dari kehidupan. Ketiga, pembacaan
riwayat hidup (manaqib) tokoh yang senantiasa dibacakan dan disosialisasi dalam
setiap upacara tahunan ini, memberikan kesadaran tentang berbagai kelebihan
(kesalehan, keilmuan, dan kealiman) tokoh, sehingga menjadi inspirasi untuk
kembali memperkokoh kesalehan individu dan sosial. Keempat, banyaknya orang
terlibat dan datang dalam kegiatan itu menunjukkan ritual keagamaan ini masih
cukup mampu menjadi institusi untuk menguatkan solidaritas sosial masyarakat. Lihat
dalam http://www.indomedia.com/ bpost/072007/ 20/opini/opini2.htm
[25]Madrasah Al-Istiqamah adalah sebuah madrasah yang
dibangun pada tahun 1931 M. oleh “Alimul ‘allamah Qadhi Tuan Guru H. Muhammad
Thaha (salah seorang guru beliau sewaktu di Martapura, yang wafat pada tahun
1361 H/1942 M), lihat Abu Daudi, 2003, op. cit., h.175.
[26]Menurut Abu Daudi: Pada suatu ketika para guru atau Kyai
di pesantren yang berada di wilayah Jawa Timur hendak belajar ilmu-ilmu agama
yang lebih mendalam lagi kepada Kyai Hamid Pasuruan, namun Kyai Hamid tidak mau
mengajari, Beliau menyuruh mereka untuk belajar kepada Guru Bangil. Maka para
Kyai tersebut datanglah kepada Guru Bangil dengan membawa pesan dari Kyai
Hamid. Namun mereka datang itu bukan saja membawa pesan dari Kyai Hamid, tetapi
mereka juga membawa pertanyaan atau menanyakan beberapa masalah kepada beliau
untuk dipecahkan, dalam arti kata para Kyai tersebut ingin menguji lebih dahulu
sampai di mana kedalaman ilmu Guru Bangil. Semua pertanyaan yang mereka ajukan
dijawab oleh Guru Bangil lengkap dengan rujukan kitabnya. Kitab-kitabnyapun
langsung beliau buka di hadapan mereka. Hal semacam ini bukan hanya sekali,
tetapi berulang-ulang kali, sehingga para Kyai tadi yakin akan keilmuan Guru
Bangil dan mereka memohon kepada beliau untuk diajari ilmu-ilmu agama. Dengan
terlebih dahulu memohon restu dan meminta izin dengan Kyai Hamid Pasuruan, Guru
Bangil pun akhirnya membuka pengajian. Lihat Abu Daudi, 2003, op. cit., h.176.
[27]Pondok Pesantren Datuk Kalampayan ini beralamat di Jl.
Mujair Kelurahan Kauman Kota Bangil Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, letaknya
persis berdekatan dengan Masjid alun-alun Kota Bangil.
[28]Wawancara dengan Ustadz H. Ahmad Mulkani, pada tanggal
12 oktober 2008.
[29]Menurut keterangan dari Ustadz Subki (wawancara pada
tanggal 9 Oktober 2008), permasalahannya waktu itu adalah bahwa di aeral di
sekitar masjid yang hendak diperluas tersebut dulunya adalah kuburan/makam,
sementara ahli waris kuburan tersebut sudah tidak diketahui lagi, sehingga timbul
masalah. Apakah boleh atau tidak memperluas masjid di tanah tersebut yang ada
kuburan di bawahnya? Akibat masalah ini terjadi perbedaan pendapat dan
perluasan pembangunan masjid tertunda. Untuk memecahkan dan mencari jalan
keluarnya, pengurus masjid dan masyarakat pun akhirnya meminta pendapat dan
nasihat kepada kepada Guru Bangil. Menurut Guru Bangil, berdasarkan kitab-kitab
fikih yang ada, secara tegas di dalam mazhab Syafi’i tidak diperbolehkan untuk
membangun masjid di atas tanah yang ada kuburannya, namun ada mazhab lain yang
membolehkan hal tersebut dilakukan mengingat kemanfaatan dan kemashlahatannya
bagi umat Islam. Oleh pengurus masjid dan masyarakat Bangil, pendapat ulama
yang membolehkan untuk membangun atau memperluas masjid sesuai dengan kebutuhan
di atas tanah bekas kuburan inilah yang kemudian dipakai dan dijadikan sebagai
rujukan, sehingga akhirnya perluasan masjidpun bisa dilaksanakan. Wawancara
pada tanggal, 9 Oktober 2008.
[30]Wawancara dengan Ustadz H. Ahmad Mulkani pada tanggal, 9
September 2008.
[31]Wawancara dengan Ustadz Subki pada tanggal, 9 Oktober
2008 .
[32]Wawancara dengan Ustadz Subki pada tanggal, 9 Oktober
2008.
[33]Wawancara dengan Ustadz H. Ahmad Mulkani pada tanggal, 9
September 2008.
[34]Wawancara dengan Guru H. Ahmad Barmawi pada tanggal, 13
Juli 2008.
[35]Wawancara dengan Ustadz Subki pada tanggal, 9 Oktober
2008.
[36]H.M. Sjarwani Abdan, Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli
al-Istiqamah: Simpanan Berharga Masalah Talqin-Tahlil-Tawassul, cetakan ke-4,
(Bangil: PP. Datuk Kalampayan, 2003), h.141.
[37]Menurut keterangan Guru H. Ahmad Barmawi, buku ini
ditulis beliau atas permintaan masyarakat Bangil karena adanya
pernyataan-pernyataan dari tokoh dan pendiri Persis, Hassan Bandung yang sangat
kontradiktif dengan pemahaman keagamaan masyarakat waktu itu. Awalnya buku yang
beliau tulis sangat tebal, karena isinya memuat pernyataan-pernyataan Hassan
Bandung kemudian dilanjutkan sanggahan-sanggahan (argumentasi) oleh Guru
Bangil. Akan tetapi ketika buku itu hendak dicetak, Hassan Bandung keburu
meninggal dunia. Guru Bangil pun akhirnya meminta agar buku itu diringkas saja,
karena beliau merasa kurang enak ditulis dengan gaya debat kalau orang yang
diajak mudzakarah sudah meninggal dunia. Wawancara pada tanggal, 13 Juli 2008.
[38]Secara bahasa bid’ah artinya sesuatu yang diadakan tanpa
contoh yang terdahulu, sesuatu barang yang pertama adanya, mengadakan sesuatu
tidak menurut contoh, diciptakan tanpa contoh, atau menciptakan dan membuat
sesuatu tanpa contoh yang terdahulu. Secara terminologis, misalnya menurut
Syekh Izzuddin bin Abdul Salam, bid’ah adalah sesuatu pekerjaan keagamaan yang
tidak dikenal pada zaman Rasulullah Saw. Menurut Imam Syafi’i bid’ah itu ada
dua, yakni bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah. Bid’ah dhalalah adalah bid’ah
yang sesat atau tercela, yakni pekerjaan keagamaan yang berlainan atau
bertentangan dengan Alquran dan Sunnah Nabi Saw, atsar para sahabat, dan ijma’
ulama. Sedangkan bid’ah hasanah adalah pekerjaan keagamaan yang baik yang tidak
bertentangan Alquran dan Sunnah Nabi Saw, perbuatan para sahabat, serta ijma’
ulama. Lihat Siradjuddin Abbas dalam buku, 40 Masalah Agama, Jilid III,
(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2000), h.153-158.
[39]Jangka waktu mulai onta disembelih sampai dagingnya
dibagi-bagikan diperkirakan sekitar 45 menit.